Pages

Anak-anak Bermain Sepakbola Di Desa Jabon Mekar

Anak-anak Bermain Sepakbola Di Desa Jabon Mekar
Sumber : Google

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROSTITUSI [2]

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
poly2_1024.jpg
Lokasi penelitian terletak di Desa Pondok Udik, Parung, Bogor, khususnya di warung remang-remang yang terdapat di sepanjang jalan raya Parung-Bogor. Di sepanjang jalan raya Parung-Bogor terdapat enam desa yaitu Parung, Lebak wangi, Jabon mekar, Jampang, Pondok udik, Kemang dan Parakan jaya yang masing- masing memiliki ciri khas yang berbeda. Namun yang pasti, sepanjang jalur tersebut memiliki persamaan mendasar yaitu dengan didirikannya banyak warung remang-remang. Di samping itu, persamaan mendasarnya juga tercermin dari seringnya terjadi kerusuhan antara pemilik warung dengan masyarakat di lokasi tersebut, sehingga menimbulkan kesan negatif bagi siapa saja yang melewati jalur tersebut.
Hanya ada satu desa saja, Jampang yang hingga saat ini “bersih” dari warung remang-remang karena masyarakat setempat mengadakan demo yang didukung oleh kepala desa setempat pada tahun 1999/2000. Tetapi di beberapa desa lainnya masih terlihat warung remang remang. Yang paling ramai, tercatat terletak di desa Pondok Udik.
Parung Bogor, tepatnya desa Pondok Udik, dengan warung remang-remang yang dihiasi oleh para gadis-gadis memang sudah dikenal oleh banyak kalangan. Penataan tempat tersebut sepintas memang disediakan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi, para gadis yang duduk di tempat tersebut bukan penduduk asli setempat melainkan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Karenanya mereka sebenarnya tidak terdata oleh kelurahan desa. Bahkan semenjak bubarnya lokalisasi Kramat Tunggak di tahun 2002, tercatat terjadinya eksodus besar-besaran para Pekerja Seks Komersil yang sebelumnya tersentralisasi di Kramat Tunggak, ke daerah Parung Bogor ini.
Warung remang dan para gadisnya ini, secara keseluruhan, dijaga oleh Pak Karna selaku polisi desa Pondok Udik. Dalam sebuah proses wawancara (25/5-2003) di rumahnya, ketika ditanya tentang latarbelakang sentralisasi lokasi prostitusi di Parung ini, beliau berkata:“Daripada berkeliaran ke mana mana lebih baik mereka di sini, toh yang penting keamanan terjamin dan masyarakat pun tidak mengubris hal tersebut”. Di sisi lain, orang yang melintas di daerah itu pun terkesan menikmati pemandangan yang indah di sepanjang kiri dan kanan jalan.
Secara geografis, jalan raya Parung adalah jalan administratif ke Bogor, sehingga daerahnya pun sebenarnya sangat strategis. Ini memberikan kelebihan tersendiri bagi lokasi warung remang tersebut untuk dijangkau masyarakat, baik yang berada di daerah sekitar Bogor sendiri maupun di luar Bogor.
Parung di malam hari relatif ramai, dengan sebuah terminal yang agak jauh dari warung remang-remang, kira kira 15 menit perjalanan melalui angkot ini sangat mendukung suasana malam parung. Warung remang di Parung, Bogor, adalah tempat mangkal para gadis yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka duduk bergerombol dengan dandanan ala selebritis sambil menemani minum para tamu yang mampir atau berniat untuk menggunakan jasa layanan seks yang tersedia di warung tersebut. Gadis-gadis berharap para tamu bergabung dengan mereka dan minum bersama dan dibayar oleh tamu yang datang, baik yang soft drink maupun yang hard drink, sambil memanjakan diri mereka untuk dikencani para pelacur laki laki baik semalam suntuk (chek in) atau hanya satu jam saja (short time).
Untuk hal kencan, tidak semua gadis yang ada di sana bisa dibawa keluar. Ada juga dari mereka yang hanya sebagai pemikat para tamu. Jam kerja mereka mulai dari jam 6.00 sampai dengan jam 2.00 wib. Mereka tidak diizinkan oleh pemilik warung untuk keluar dari warung, akan tetapi harus mengajak para tamunya untuk minum di warung dahulu. Setelah jam kerja selesai mereka baru bisa keluar.
Di sisi lain, berdirinya kafe di lokasi tersebut semakin melengkapi kehidupan malam di Parung. Kafe tersebut mulai ramai setelah pukul 9 malam. Kafe yang dinamai dengan “Sahabat” tersebut terletak tidak jauh dari deretan warung remang-remang Pondok Udik. Hal itu semakin menambah glamornya suasana malam di lokasi tersebut. Di depan kafe tersebut tampak halaman parkir mobil, yang memiliki ritme dan ritualnya sendiri menyertai musik Dangdut yang terdengar melalui sela sela tembok. Di halaman tersebut terdapat pedagang rokok yang selalu setia menemani juru parkir yang mengawasi bermacam merk mobil dan motor, dan tidak bosan bosannya juru parkir tersebut memperingati gelandangan yang memimpikan ingin duduk di dalam mobil-mobil itu bila pemiliknya keluar.
Kafe ‘sahabat’ adalah tempat yang strategis untuk bersenang-senang. Laki-laki dan perempuan yang datang ke tempat tersebut semata-mata untuk happy. Kafe ‘Sahabat’ tidak menyediakan apapun kecuali atraksi keakraban pergaulan kelompok kelompok pengunjung di mana laki laki bisa menemukan teman minum, dan para gadis parung yang duduk mengobrol seakan mengadakan “kuis siapa berani”. Di lain tempat yang tidak jauh dari ‘sahabat’ terdapat sebuah hotel Melati yang relatif terjangkau harganya bagi para tamu, “Pendopo”, nama hotel tersebut, dengan bangunan sederhana cukup untuk sebuah hotel. Pendopo juga menyediakan kafe untuk bersantai. Di sini pula para pelacur menawarkan dirinya agar dibawa ke hotel tersebut guna untuk menginap semalaman, chek in.
Mereka para gadis parung yang ambil bagian dalam subkultur jalanan, termasuk penyanyi dan penari setengah striptis, pada umumnya dianggap pelacur, karena prilaku ini jauh dari standart nilai dasar moral dan etika Islam. Dalam hal ini, standar moral tidak hanya ditantang oleh pelacuran tetapi juga menciptakan pelacuran. Pelacuran tersebar luas di warung remang-remang Parung dan hanya dikontrol melalui usikan polisi dan FPI.
Pelacur yang datang dari berbagai tempat, di antaranya hasil eksodus dari Kramat tunggak yang pernah diresmikan oleh pemerintah surat keputusan Ali sadikin tahun 1970 tentang “lokalisasi dan rasionalisasi”, namun kemudian dibubarkan. Para ‘pemain baru’ hasil eksodus dari Kramat Tunggak tersebut mencapai sekitar 40 % para wanita pekerja seks yang memang telah mangkal di Parung. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah tidak mampu memberikan solusi praktis atas keputusan pembubaran Kramat Tunggak, berupa penyediaan sarana pekerjaaan alternatif bagi para pelacur tersebut.
Ironisnya, sejumlah pernyataan resmi mengumumkan jumlah pelacur yang telah meninggalkan kompleks pelacuran, dianggap menuju “jalan yang lurus”. Padahal, realita mengatakan berbeda. Banyak dari mereka hanya pindah dari satu tempat lokalisasi, ke tempat yang lain.
Sementar standard moral tentang yang baik dan yang buruk di pergunakan untuk mengkategorikan perempuan, bagi laki-laki, hal ini hanyalah soal keuangan saja. Ada asumsi serta interpretasi di kalangan umat Islam bahwa poligami adalah tatanan alam. Ditambah lagi, mereka tahu bahwa mempunyai banyak istri atau kekasih itu biayanya mahal. Mengunakan jasa layanan seks pelacur adalah alternatif yang relatif murah. Di samping juga faktor ketaatan perempuan sangat diutamakan. Tetapi seorang lelaki hanya perlu untuk agak berhati-hati melakukan permainan ekstra perkawinan-dianggap lebih baik pergi ke pelacur dari pada punya gundik, karena pengeluaran uang kemungkinan besar dan banyak efek samping yang tidak positif menurut tamu yang datang yang sempat ditanyai oleh peneliti.
Sesungguhnya berpindahnya wanita dari satu pria ke pria yang lain dengan tetap memperhatikan aturan-aturan syariat, bukanlah hal yang diharamkan secara prinsip. Tetapi, ada sebagian unsur skunder yang menyebabkan pelarangannya. Misalnya, pelecehan kehormatan wanita yang mukmin, atau memperburuk iklim moral dan psikologis umum atau membahayakan masyarakat melalui ancaman wabah penyakit yang ganas dan mematikan. Sesungguhnya praktek prostitusi baik yang dilakukan oleh pria maupun wanita bertentangan dengan cita rasa kemanusian. Islam menginginkan agar pria dan wanita memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi mereka, terutama seks, dengan tetap memperhatikan unsur insani, di mana keduanya akan tetap merasakan hubungan yang hakiki di antara mereka.
Masalah prostitusi adalah masalah yang kompleks dengan intrik sosial. Hal inilah yang menyinggung masalah prostitusi dan meletakannya didepan masalah yang mengelinding di masyarakat. Tampak bahwa semua jerih payah yang dilakukan baik dari sisi hukum, tatanan sosial, praktek dan pelaku, dikarenakan kebebasan ekonomi yang dianggap sebagai jalan pokok bagi kaum wanita untuk memperoleh kebebasannya. Selain faktor ekonomi, masalah besar lainnya, yang muncul sebagai salah satu pemicu mendasar tindak prostitusi adalah krisis keluarga. Di mana krisis keluarga adalah awal dari krisis kemanusiaan. Bila kehidupan keluarga tidak mampu lagi memuaskan seseorang, maka seseorang cenderung tidak dapat lagi mengenali jati dirinya dan tak mampu memahami peran dan fungsinya, baik diri pribadi maupun sebagai anggota suatu keluarga. Ketika seseorang sudah tidak percaya lagi tentang pentingnya keluarga, maka selanjutnya ia akan mempertanyakan urgensi suatu perkawinan. Karena keluarga merupakan elemen terkecil dari masyarakat, maka masa depan masyarakat akan sangat tergantung pada keluarga-keluarga yang membentuknya. Jika tidak, maka tunggu saja tanggal kehancurannya.
B. Deskripsi Data
Dari hasil wawancara peneliti terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor yang paling dominan terhadap adanya prostitusi adalah karena faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%; sedangkan faktor lainnya adalah faktor putus cinta sebanyak 20%, faktor lingkungan 15%, faktor hasrat seks 10% dan dikarenakan tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak 10%.
Dengan demikian, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap prostitusi. Faktor ekonomi ini secara operasionalnya adalah susah mendapatkan pekerjaan di Ibukota dengan bekal pendidikan yang minim sedangkan kebutuhan terhadap “bertahan hidup” merupakan sesuatu yang urgen, maka kebanyakan dari wanita yang dikarenakan desakan ekonomi yang kuat mendorong mereka untuk menjalani hidup sebagai “wanita malam”.
Data desa Pondok Udik ini adalah sekumpulan keterangan yang di peroleh secara langsung dari sumbernya yang dapat memberikan gambaran tentang potensi dan permasalahan wilayah. Dimaksud sebagai catatan data yang menunjukan keberadaan sesuai karakter desa, yaitu: gambaran tentang potensi dan problematika yang dihadapi, baik yang bersumber dari keadaan menurut karakter desa maupun yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pembangunan itu sendiri. Bentuk dan muatan isi data ini bersifat daftar pertanyaan yang di wujudkan dengan angka angka.
Data profil Desa diperoleh dari sumber aslinya sebagai hasil pencatatan (regestrasi) ditingkat Dusun, Lingkungan, RW, RT. Di samping itu, data ini juga bersumber dari keadaan/fakta karakter desa yang diperoleh dari hasil penghitungan dan pengukuran yang dilakukan baik dari aparat pemerintah desa atau kelurahan sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak instansi tingkat atasan desa/kelurahan dan pihak responden di wilayah desa Pondok Udik Kec kemang Jl Raya parung Bogor. Data yang dilampirkan berguna untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan sebagai pelengkap skripsi
Kebutuhan untuk mengkondisikan instink dan dorongan seks merupakan kebutuhan alami yang dipupuk dan diperhatikan. Kebutuhan kepribadian yang harmonis mendorong interaksi yang sehat antara sesama manusia dan pribadi yang berimbang lahir batin, adalah stabil secara emosional dan kompeten untuk mencapai harmoni dan kedamaian sosial.
Perempuan Parung Bogor tepatnya di desa Pondok Udik, pada umumnya yang berpendidikan di bawah standard. Minim sekali dari mereka yang lulusan universitas. Kecuali mereka yang cenderung memiliki hobi memasak dan mengasuh anak, pada waktu luang, kegiatan yang mereka lakukan adalah berdandan, arisan kecil-kecilan layaknya ibu-ibu pondok indah, bergosip, bahkan kegemaran berhubungan seks. Karena tidak ada yang mereka kerjakan, sebagai konpensasi dari itu semua mereka mengidentifikasikan dan mencari pemuasan diri melalui apa yang mereka miliki.
Mereka tak ubahnya ibarat konsumen bangsa ini, manajer keluarga inti yang berkonsumsi. Pola ini menunjukkan posisi status dan kelas mereka sebagai potensi yang laku di pasaran dan murah. Para pelacur-pelacur ini direndahkan sebagai orang penyimpang amoral, patologis. Penilaian yang berlaku untuk sementara mengatakan bahwa mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam menanggapi prospek ekonomi, dan dalam menjual tubuh mereka sebagai obyek dagangan mengeploitasi sistem kapitalis untuk tujuan mereka sendiri.
Uang yang diperoleh untuk pemuasan aspirasi aspirasi konsumeris yang tidak mereka dapatkan dengan cara lain, karena pelacuran menawarkan alternatif terhadap ideologi yang patriakal moralistik. Penindasan seksual dan kerja pabrik yang eksploitatif tidak membenarkan kesempatan pada mereka untuk “berhasil”. Prospek mereka jauh lebih baik dari pedagang. Mereka menjual diri untuk ikut berkongsi dalam sistem, meskipun sifatnya temporal.
“Gadis baik-baik” dalam kaca mata penerimaan sosial pada umumnya adalah mereka yang bekerja di rumah atau di tempat lain dalam instansi instansi terkait, menerima norma-norma sosial dan penindasan sosial. Mereka tidak minum minuman keras atau merokok, tidak pergi ketempat tempat yang dianggap cela oleh masyarakat, atau masih di luar rumah pada pukul 11 malam. Akan tetapi sebaliknya, dengan meningkatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, maka sering timbulnya jalan alternatif yang relatif singkat dengan melakukan pelacuran kecil-kecilan, pergi ke diskotik, kumpul bareng dalam satu ruangan mengunakan narkoba, sabu-sabu, putaw, minuman hard drink, dan berbagai obat penenang lainnya yang dianggap sebagai solusi.
Gadis desa yang ambil bagian dari “drama sosial” ini tidak kalah menariknya dari gadis gadis kota. Padahal kehidupan sehari hari di kampung adalah strategis untuk bertahan hidup, berlawanan dengan “mitos marginalitas”, yang menganggap bahwa kampung adalah lingkungan liar, menjijikan dan kotor bahkan tidak mempunyai pendidikan “moral”. Mereka (gadis yang datang dari desa) tidak serta merta datang dan ikut dalam permainan seks tersebut, melainkan ada efek sosial yang menjanjikan impian material dan hidup layaknya gadis-gadis sinetron.
Gadis desa salah satu sasaran empuk oleh orang orang yang menganggap dirinya sebagai germo, dengan embel-embel pekerjaan untuk hidup di kota dan menambah uang belanja di kampung serta membantu kesulitan keluarga.
Kisah tentang orang miskin jadi kaya dan orang kaya jatuh miskin dan pelacur yang selalu siap melayani tamunya di setiap matahari memejamkan sinarnya hampir mengkarikaturkan berjalannya sistem kelas yang baru di Parung. Gadis Parung cenderung mengepresikan tingkat alienasi yang dikombinasikan dengan keinginan akan uang dan kepemilikan akan materi.
Gadis-gadis Parung yang peneliti temui, khususnya di warung remang-remang, tidak semuanya menjual jasa dari tubuh mereka. Ada juga yang cuma menemani minum para lelaki yang datang guna menambah uang belanja keluarga dan sebagai penarik pelanggan datang. Gadis yang berspekulasi untuk mendapatkan pekerjaan tidak semuanya bernasib baik. Warung remang adalah alternatif satu satunya yang dapat memberikan mereka kemudahan untuk mendapatkan uang. Bagaimana tidak, cara transaksi yang dilakukan oleh para gadis sangatlah tidak sesuai dengan keadaan diluar atau pasaran. Jika para tamu meminum minuman di warung tersebut lebih mahal harganya ketimbang minum di airport, itu wajar adanya, lantaran yang mahal bukan minumanya melainkan tempatnya. Menurut mereka, teh botol misalnya, harganya berkisar sampai 12 ribu rupiah. Jika seorang yang minum bir harganya pun lebih mahal dari biasanya dan mempunyai kebiasaan yang “curang”, yaitu ketika tamu yang sudah mabuk maka botol minuman ditambah diatas meja sehingga hitunganpun akan bertambah.
Warung remang milik seorang lelaki yang letaknya tidak jauh dari hotel Pendopo, mempekerjakan 4 orang gadis yang datang dari luar daerah; 2 gadis berasal dari bubaran Kramat Tunggak asal Sukabumi, sementara yang 2 lagi berasal dari Cianjur dan Banyuwangi. Mereka semua menemani minum dan sekaligus menemani kencan para tamu yang berniat untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Rika 23 tahun, salah seorang dari mereka yang terpaksa harus menjual tubuhnya hanya karena trauma dengan keluarga dan sang suami yang meninggalkannya setelah “menghisap madunya”. Rika adalah seorang mahasiswi dari salah satu universitas yang ada di Bandung. Lantaran dia harus menikah dengan laki laki yang dipilih oleh keluarganya sampai dia harus stop out kuliah dan akhirnya harus berhenti karena hormatnya dengan suami yang ternyata adalah benalu dalam keluarga. Rika, gadis yang trauma ini, bercerita kepada peneliti dengan deraian air mata penyesalan dan kebencian dengan laki laki yang datang guna untuk menikmati dirinya. Dia satu-satunya gadis yang sempat menginjak bangku kuliah hingga semester empat. Trauma Rika dilampiaskan lewat celotehnya dalam keadaan mabuk yang bernuansa syair. (Saya lampirkan ungkapan hati Rika tersebut dalam skripsi ini, dengan judul “Air Mata Rika”.)
Di lain tempat, di sebelah kanan, yang tidak jauh dari warung remang di mana Rika selalu duduk, terdapat sebuh warung lagi. “Nur” yang selalu mangkal di warung tersebut berasal dari Jawa Barat, tepatnya dari Tasik, lantaran karena ekonomi yang menuntut Nur harus bekerja demi untuk menghidupi keluarga di kampungnya. Nur harus menjalani hidup di Parung sebagai seorang yang menemani untuk minum para tamu dan tak jarang untuk kencan dengan para tamu yang mampir di tempatnya. Nur menganggap dirinya tidak seperti gadis lainnya yang menganggap diri mereka kotor. Tapi Nur merasa dirinya harus berjuang untuk kehidupan beberapa nyawa. Nur mempunyai dua saudara yang masih duduk di bangku sekolah. Keduanya perempuan; satu SMP dan satunya lagi SD. Ibu Nur yang sakit-sakitan, semenjak ditinggal oleh suaminya yang telah meninggal beberapa tahun lalu tak lagi bisa menghidupi keluarganya. Maka dari itu, Nur merasa bahwa kehidupanlah yang patut disalahkan. “Apakah dosa jika aku menyelamatkan keluargaku sendiri”, jawab Nur dengan nada yang agak tinggi.
Ada juga Marni, asli Cipelang Bogor, dinikahkan oleh orang tuanya pada usia 13 tahun (masih di sekolah dasar) dengan seorang petani yang sudah tua. Mereka tidak cocok, kemudian Marni minta cerai lalu pergi ke Jakarta pada tahun 1993. Ia kemudian menikah dengan Niko (panggilan), seorang kuli kereta di Gambir yang dikenalnya di Jakarta. Mereka kawin hanya di KUA saja tanpa harus meramaikannya. Lalu Niko berhenti dari pekerjaanya sebagai kuli dan pindah ke pabrik yang letaknya di Cinangka, Parung.
Bertambahnya anak, mulai menimbulkan masalah keuangan dalam keluarga mereka. Marni ikut dalam memperjuangkanm keutuhan keluarga. Ia bekerja di warung remang Parung dikala malam, dan di siang hari Marni harus mengambil cucian. Akan tetapi Marni hanya menemani minum saja dan dia selalu menolak ketika para tamu yang datang dengan pikiran kotor untuk mengajak Marni. Sejak itu Marni dan Niko mengumpulkan modal hingga mereka membuka sebuah warung di Parung dan tetap mengambil cucian di siang hari yang di bantu oleh anak perempuanya tertua mereka yang masih SMU. Mereka tinggal di rumah sendiri, dengan dua perempuan dan satu laki laki.
Di lain pihak, di sebuah warung indomi dan rokok yang letaknya persis di depan kantor kelurahan Pondok Udik, terdapat seorang anak muda yang bernama Andi yang masih duduk di bangku sekolah menengah umum dengan seorang adik perempuannya. Kehadiran mereka semakin meramaikan berjalannya kehidupan malam dan siang di desa tersebut. Warung Andi buka 20 jam. Andi berserta adik perempuannya, bergantian menjaga warung tersebut guna untuk mendapatkan nafkah lahir. Pagi hari saat Andi sekolah, yang menjaga warung tersebut adalah adiknya, di siang hari, mereka berganti tugas. Tapi kalau di malam hari, dua bersaudara tersebut seringkali dibantu dan ditemani bapak dan ibunya.
C. Penanganan Prostitusi
1. Respons Masyarakat Setempat
Dari keterangan warga setempat yang peneliti peroleh dari wawancara dengan beberapa warga masyarakat setempat (18/05/2003), diperoleh informasi bahwa keberadaan warung remang-remang sebagai pusat mesum yang ada di Desa Pondok Udik, sebetulnya bukan tidak diketahui oleh warga setempat. Semua warga Desa Pondok Udik mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh para wanita malam tersebut. Pada akhir tahun 2000, tepatnya sebelum pergantian Kepala Desa, warga Pondok Udik pernah melakukan protes dengan demontsrasi untuk menentang keberadaan warung remang-remang tersebut. Untuk sementara waktu, setelah warga melakukan protes tersebut, warung remang-remang memang tidak terlihat lagi.
Namun, setelah ada pergantian Kepala Desa Pondok Udik, aktivitas warung remang-remang terlihat kembali marak, bahkan lebih ramai dari sebelumnya. Kepala Desa Pondok Udik yang baru rupanya memberikan peluang bagi tumbuhnya warung remang-remang di wilayah kekuasaannya.
2. Respons Agamawan
Di wilayah Desa Pondok Udik terdapat beberapa organisasi keagamaan, di antaranya sebuah yayasan Islam yang letaknya persis di samping kantor kelurahan. Respons dari para agamawan yang ada di desa tersebut jelas sangat menentang adanya praktek kemaksiatan di wilayah Desa Pondok Udik. Ketidaksetujuan mereka inilah juga yang menjadi penggerak warga masyarakat desa untuk melakukan penentangan pada akhir tahun 2000 seperti dikemukakan di atas (sumber: Wawancara dengan salah seorang warga pedagang di Desa Pondok Udik).
Namun, pada waktu sekarang respons dari para agamawan seakan surut. Hal itu disebabkan ketidaksetujuan mereka tidak mendapat dukungan dari pihak aparat pemerintah yang ada di desa tersebut.
3. Respons Aparat Pemerintah
Untuk menganalisis respons aparat pemerintah desa Pondok Udik ini, peneliti mendapat kesulitan, karena susahnya untuk mendapat informasi dari pihak pemerintah yang berwenang. Sikap para aparat desa sangat tertutup ketika ditanya masalah warung remang-remang yang ada di wilayahnya. Hal itu seakan-akan memberikan indikasi bahwa pihak pemerintah desa kurang merespons terhadap berbagai praktek kemaksiatan yang ada, atau bahkan seakan-akan menyetujui dan melindunginya.
D. Analisa Prostitusi dari Perspektif PMI
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab II, bahwa Pengembangan Masyarakat Islam (PMI/Tathwir) dilakukan dalam rangka peningkatan sosial masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok: pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat, penggalangan ukhuwah islamiyyah, dan pemeliharaan lingkungan.
Berdasarkan perspektif tersebut, maka para pelaku prostitusi tidak mesti dipandang sebagai sesuatu yang harus dijauhi atau “penyakit masyarakat”. Betul bahwa perbuatan maksiat harus dijauhi, akan tetapi pelaku maksiat tidak mesti dikucilkan, melainkan sebaliknya didekati dengan tujuan memberikan pengertian dan bimbingan terhadap mereka. Dakwah dalam perspektif ini, berarti melakukan pendekatan terhadap mereka, sekaligus memberikan bimbingan baik yang berupa bimbingan ajaran agama yang mesti mereka patuhi maupun bimbingan untuk mencari jalan yang halal dalam mencari kehidupan di dunia.
Di samping itu, untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang islami mesti disertai juga dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan ditegakkan. Tanpa adanya kesadaran dari masyarakat, maka peran da’i tidak akan banyak berarti. Kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai agama) inilah yang menjadi tugas utama para da’i dalam membangunnya. Setelah terbangun kesadaran masyarakat tersebut, secara pelan namun pasti mereka akan sadar dan tergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai mulia tersebut di lingkungannya. 
By: harja saputra & fikri habsyi (2002)

Sumber :  http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/05/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-2/

No comments:

Post a Comment

Balong Di Desa Kabon Mekar

Balong Di Desa Kabon Mekar
Sumber : Google