A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Desa Pondok Udik, Parung, Bogor, khususnya di
warung remang-remang yang terdapat di sepanjang jalan raya
Parung-Bogor. Di sepanjang jalan raya Parung-Bogor terdapat enam desa
yaitu Parung, Lebak wangi, Jabon mekar, Jampang, Pondok udik, Kemang dan
Parakan jaya yang masing- masing memiliki ciri khas yang berbeda. Namun
yang pasti, sepanjang jalur tersebut memiliki persamaan mendasar yaitu
dengan didirikannya banyak warung remang-remang. Di samping itu,
persamaan mendasarnya juga tercermin dari seringnya terjadi kerusuhan
antara pemilik warung dengan masyarakat di lokasi tersebut, sehingga
menimbulkan kesan negatif bagi siapa saja yang melewati jalur tersebut.
Hanya
ada satu desa saja, Jampang yang hingga saat ini “bersih” dari warung
remang-remang karena masyarakat setempat mengadakan demo yang didukung
oleh kepala desa setempat pada tahun 1999/2000. Tetapi di beberapa desa
lainnya masih terlihat warung remang remang. Yang paling ramai, tercatat terletak di desa Pondok Udik.
Parung Bogor, tepatnya desa Pondok Udik, dengan warung remang-remang yang dihiasi oleh para gadis-gadis memang
sudah dikenal oleh banyak kalangan. Penataan tempat tersebut sepintas
memang disediakan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi, para gadis yang
duduk di tempat tersebut bukan penduduk asli setempat melainkan
pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Karenanya mereka sebenarnya
tidak terdata oleh kelurahan desa. Bahkan semenjak bubarnya lokalisasi
Kramat Tunggak di tahun 2002, tercatat terjadinya eksodus besar-besaran
para Pekerja Seks Komersil yang sebelumnya tersentralisasi di Kramat
Tunggak, ke daerah Parung Bogor ini.
Warung
remang dan para gadisnya ini, secara keseluruhan, dijaga oleh Pak Karna
selaku polisi desa Pondok Udik. Dalam sebuah proses wawancara
(25/5-2003) di rumahnya, ketika ditanya tentang latarbelakang
sentralisasi lokasi prostitusi di Parung ini, beliau berkata:“Daripada
berkeliaran ke mana mana lebih baik mereka di sini, toh yang penting
keamanan terjamin dan masyarakat pun tidak mengubris hal tersebut”. Di sisi lain, orang yang melintas di daerah itu pun terkesan menikmati pemandangan yang indah di sepanjang kiri dan kanan jalan.
Secara
geografis, jalan raya Parung adalah jalan administratif ke Bogor,
sehingga daerahnya pun sebenarnya sangat strategis. Ini memberikan
kelebihan tersendiri bagi lokasi warung remang tersebut untuk dijangkau
masyarakat, baik yang berada di daerah sekitar Bogor sendiri maupun di
luar Bogor.
Parung
di malam hari relatif ramai, dengan sebuah terminal yang agak jauh dari
warung remang-remang, kira kira 15 menit perjalanan melalui angkot ini
sangat mendukung suasana malam parung. Warung remang di Parung, Bogor,
adalah tempat mangkal para gadis yang datang dari berbagai daerah di
Indonesia. Mereka duduk bergerombol dengan dandanan ala selebritis
sambil menemani minum para tamu yang mampir atau berniat untuk
menggunakan jasa layanan seks yang tersedia di warung tersebut.
Gadis-gadis berharap para tamu bergabung dengan mereka dan minum bersama dan dibayar oleh tamu yang datang, baik yang soft drink maupun yang hard drink, sambil memanjakan diri mereka untuk dikencani para pelacur laki laki baik semalam suntuk (chek in) atau hanya satu jam saja (short time).
Untuk
hal kencan, tidak semua gadis yang ada di sana bisa dibawa keluar. Ada
juga dari mereka yang hanya sebagai pemikat para tamu. Jam kerja mereka
mulai dari jam 6.00 sampai dengan jam 2.00 wib. Mereka tidak diizinkan
oleh pemilik warung untuk keluar dari warung, akan tetapi harus mengajak
para tamunya untuk minum di warung dahulu. Setelah jam kerja selesai
mereka baru bisa keluar.
Di
sisi lain, berdirinya kafe di lokasi tersebut semakin melengkapi
kehidupan malam di Parung. Kafe tersebut mulai ramai setelah pukul 9
malam. Kafe yang dinamai dengan “Sahabat” tersebut terletak
tidak jauh dari deretan warung remang-remang Pondok Udik. Hal itu
semakin menambah glamornya suasana malam di lokasi tersebut. Di depan
kafe tersebut tampak halaman parkir mobil, yang memiliki ritme dan
ritualnya sendiri menyertai musik Dangdut yang terdengar melalui sela
sela tembok. Di halaman tersebut terdapat pedagang rokok yang selalu
setia menemani juru parkir yang mengawasi bermacam merk mobil dan motor,
dan tidak bosan bosannya juru parkir tersebut memperingati gelandangan
yang memimpikan ingin duduk di dalam mobil-mobil itu bila pemiliknya
keluar.
Kafe
‘sahabat’ adalah tempat yang strategis untuk bersenang-senang.
Laki-laki dan perempuan yang datang ke tempat tersebut semata-mata untuk
happy. Kafe ‘Sahabat’ tidak menyediakan apapun kecuali atraksi
keakraban pergaulan kelompok kelompok pengunjung di mana laki laki bisa
menemukan teman minum, dan para gadis parung yang duduk mengobrol
seakan mengadakan “kuis siapa berani”. Di lain tempat yang tidak jauh
dari ‘sahabat’ terdapat sebuah hotel Melati yang relatif terjangkau
harganya bagi para tamu, “Pendopo”, nama hotel tersebut, dengan bangunan
sederhana cukup untuk sebuah hotel. Pendopo juga menyediakan kafe untuk
bersantai. Di sini pula para pelacur menawarkan dirinya agar dibawa ke
hotel tersebut guna untuk menginap semalaman, chek in.
Mereka para gadis parung yang ambil bagian dalam subkultur jalanan, termasuk penyanyi dan penari setengah striptis,
pada umumnya dianggap pelacur, karena prilaku ini jauh dari standart
nilai dasar moral dan etika Islam. Dalam hal ini, standar moral tidak
hanya ditantang oleh pelacuran tetapi juga menciptakan pelacuran.
Pelacuran tersebar luas di warung remang-remang Parung dan hanya
dikontrol melalui usikan polisi dan FPI.
Pelacur yang datang dari berbagai tempat, di antaranya hasil eksodus dari Kramat tunggak yang pernah diresmikan oleh pemerintah surat
keputusan Ali sadikin tahun 1970 tentang “lokalisasi dan
rasionalisasi”, namun kemudian dibubarkan. Para ‘pemain baru’ hasil
eksodus dari Kramat Tunggak tersebut mencapai sekitar 40 % para wanita
pekerja seks yang memang telah mangkal di Parung. Ini merupakan salah
satu bukti bahwa pemerintah tidak mampu memberikan solusi praktis atas
keputusan pembubaran Kramat Tunggak, berupa penyediaan sarana pekerjaaan
alternatif bagi para pelacur tersebut.
Ironisnya,
sejumlah pernyataan resmi mengumumkan jumlah pelacur yang telah
meninggalkan kompleks pelacuran, dianggap menuju “jalan yang lurus”.
Padahal, realita mengatakan berbeda. Banyak dari mereka hanya pindah
dari satu tempat lokalisasi, ke tempat yang lain.
Sementar
standard moral tentang yang baik dan yang buruk di pergunakan untuk
mengkategorikan perempuan, bagi laki-laki, hal ini hanyalah soal
keuangan saja. Ada asumsi serta interpretasi di kalangan umat Islam
bahwa poligami adalah tatanan alam. Ditambah lagi, mereka tahu bahwa
mempunyai banyak istri atau kekasih itu biayanya mahal. Mengunakan jasa
layanan seks pelacur adalah alternatif yang relatif murah. Di samping
juga faktor ketaatan perempuan sangat diutamakan. Tetapi
seorang lelaki hanya perlu untuk agak berhati-hati melakukan permainan
ekstra perkawinan-dianggap lebih baik pergi ke pelacur dari pada punya
gundik, karena pengeluaran uang kemungkinan besar dan banyak efek
samping yang tidak positif menurut tamu yang datang yang sempat ditanyai
oleh peneliti.
Sesungguhnya
berpindahnya wanita dari satu pria ke pria yang lain dengan tetap
memperhatikan aturan-aturan syariat, bukanlah hal yang diharamkan secara
prinsip. Tetapi, ada sebagian unsur skunder yang menyebabkan
pelarangannya. Misalnya, pelecehan kehormatan wanita yang mukmin, atau
memperburuk iklim moral dan psikologis umum atau membahayakan masyarakat
melalui ancaman wabah penyakit yang ganas dan mematikan. Sesungguhnya
praktek prostitusi baik yang dilakukan oleh pria maupun wanita
bertentangan dengan cita rasa kemanusian. Islam menginginkan agar pria
dan wanita memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi mereka, terutama seks,
dengan tetap memperhatikan unsur insani, di mana keduanya akan tetap merasakan hubungan yang hakiki di antara mereka.
Masalah
prostitusi adalah masalah yang kompleks dengan intrik sosial. Hal
inilah yang menyinggung masalah prostitusi dan meletakannya didepan
masalah yang mengelinding di masyarakat. Tampak bahwa semua jerih payah
yang dilakukan baik dari sisi hukum, tatanan sosial, praktek dan pelaku,
dikarenakan kebebasan ekonomi yang dianggap sebagai jalan pokok bagi
kaum wanita untuk memperoleh kebebasannya. Selain faktor ekonomi,
masalah besar lainnya, yang muncul sebagai salah satu
pemicu mendasar tindak prostitusi adalah krisis keluarga. Di mana krisis
keluarga adalah awal dari krisis kemanusiaan. Bila kehidupan keluarga
tidak mampu lagi memuaskan seseorang, maka seseorang cenderung tidak
dapat lagi mengenali jati dirinya dan tak mampu memahami peran dan
fungsinya, baik diri pribadi maupun sebagai anggota suatu keluarga.
Ketika seseorang sudah tidak percaya lagi tentang pentingnya keluarga,
maka selanjutnya ia akan mempertanyakan urgensi suatu perkawinan. Karena
keluarga merupakan elemen terkecil dari masyarakat, maka masa depan
masyarakat akan sangat tergantung pada keluarga-keluarga yang
membentuknya. Jika tidak, maka tunggu saja tanggal kehancurannya.
B. Deskripsi Data
Dari hasil wawancara peneliti terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor
yang paling dominan terhadap adanya prostitusi adalah karena faktor
ekonomi, yaitu sebanyak 45%; sedangkan faktor lainnya adalah faktor
putus cinta sebanyak 20%, faktor lingkungan 15%, faktor hasrat seks 10%
dan dikarenakan tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang
katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak
10%.
Dengan
demikian, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap
prostitusi. Faktor ekonomi ini secara operasionalnya adalah susah
mendapatkan pekerjaan di Ibukota dengan bekal pendidikan yang minim
sedangkan kebutuhan terhadap “bertahan hidup” merupakan sesuatu yang
urgen, maka kebanyakan dari wanita yang dikarenakan desakan ekonomi yang
kuat mendorong mereka untuk menjalani hidup sebagai “wanita malam”.
Data
desa Pondok Udik ini adalah sekumpulan keterangan yang di peroleh
secara langsung dari sumbernya yang dapat memberikan gambaran tentang
potensi dan permasalahan wilayah. Dimaksud sebagai catatan data yang
menunjukan keberadaan sesuai karakter desa, yaitu: gambaran tentang
potensi dan problematika yang dihadapi, baik yang bersumber dari keadaan
menurut karakter desa maupun yang timbul sebagai akibat dari kegiatan
pembangunan itu sendiri. Bentuk dan muatan isi data ini bersifat daftar
pertanyaan yang di wujudkan dengan angka angka.
Data
profil Desa diperoleh dari sumber aslinya sebagai hasil pencatatan
(regestrasi) ditingkat Dusun, Lingkungan, RW, RT. Di samping itu, data
ini juga bersumber dari keadaan/fakta karakter desa yang diperoleh dari
hasil penghitungan dan pengukuran yang dilakukan baik dari aparat
pemerintah desa atau kelurahan sendiri maupun yang
dilakukan oleh pihak instansi tingkat atasan desa/kelurahan dan pihak
responden di wilayah desa Pondok Udik Kec kemang Jl Raya parung Bogor.
Data yang dilampirkan berguna untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dan sebagai pelengkap skripsi
Kebutuhan
untuk mengkondisikan instink dan dorongan seks merupakan kebutuhan
alami yang dipupuk dan diperhatikan. Kebutuhan kepribadian yang harmonis
mendorong interaksi yang sehat antara sesama manusia dan pribadi yang
berimbang lahir batin, adalah stabil secara emosional dan kompeten untuk
mencapai harmoni dan kedamaian sosial.
Perempuan
Parung Bogor tepatnya di desa Pondok Udik, pada umumnya yang
berpendidikan di bawah standard. Minim sekali dari mereka yang lulusan
universitas. Kecuali mereka yang cenderung memiliki hobi memasak dan
mengasuh anak, pada waktu luang, kegiatan yang mereka lakukan adalah
berdandan, arisan kecil-kecilan layaknya ibu-ibu pondok indah, bergosip,
bahkan kegemaran berhubungan seks. Karena tidak ada yang mereka kerjakan, sebagai konpensasi dari itu semua mereka mengidentifikasikan dan mencari pemuasan diri melalui apa yang mereka miliki.
Mereka tak ubahnya ibarat konsumen
bangsa ini, manajer keluarga inti yang berkonsumsi. Pola ini
menunjukkan posisi status dan kelas mereka sebagai potensi yang laku di
pasaran dan murah. Para pelacur-pelacur ini direndahkan sebagai orang
penyimpang amoral, patologis. Penilaian yang berlaku untuk sementara
mengatakan bahwa mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam
menanggapi prospek ekonomi, dan dalam menjual tubuh mereka sebagai
obyek dagangan mengeploitasi sistem kapitalis untuk tujuan mereka
sendiri.
Uang
yang diperoleh untuk pemuasan aspirasi aspirasi konsumeris yang tidak
mereka dapatkan dengan cara lain, karena pelacuran menawarkan alternatif
terhadap ideologi yang patriakal moralistik. Penindasan seksual dan
kerja pabrik yang eksploitatif tidak membenarkan kesempatan pada mereka
untuk “berhasil”. Prospek mereka jauh lebih baik dari pedagang. Mereka
menjual diri untuk ikut berkongsi dalam sistem, meskipun sifatnya temporal.
“Gadis
baik-baik” dalam kaca mata penerimaan sosial pada umumnya adalah mereka
yang bekerja di rumah atau di tempat lain dalam instansi instansi
terkait, menerima norma-norma sosial dan penindasan sosial. Mereka tidak
minum minuman keras atau merokok, tidak pergi ketempat tempat yang
dianggap cela oleh masyarakat, atau masih di luar rumah pada pukul 11
malam. Akan tetapi sebaliknya, dengan meningkatnya
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, maka sering timbulnya jalan
alternatif yang relatif singkat dengan melakukan pelacuran
kecil-kecilan, pergi ke diskotik, kumpul bareng dalam satu ruangan
mengunakan narkoba, sabu-sabu, putaw, minuman hard drink, dan berbagai
obat penenang lainnya yang dianggap sebagai solusi.
Gadis
desa yang ambil bagian dari “drama sosial” ini tidak kalah menariknya
dari gadis gadis kota. Padahal kehidupan sehari hari di kampung adalah
strategis untuk bertahan hidup, berlawanan dengan “mitos marginalitas”,
yang menganggap bahwa kampung adalah lingkungan liar, menjijikan dan
kotor bahkan tidak mempunyai pendidikan “moral”. Mereka (gadis yang
datang dari desa) tidak serta merta datang dan ikut dalam
permainan seks tersebut, melainkan ada efek sosial yang menjanjikan
impian material dan hidup layaknya gadis-gadis sinetron.
Gadis
desa salah satu sasaran empuk oleh orang orang yang menganggap dirinya
sebagai germo, dengan embel-embel pekerjaan untuk hidup di kota dan
menambah uang belanja di kampung serta membantu kesulitan keluarga.
Kisah
tentang orang miskin jadi kaya dan orang kaya jatuh miskin dan pelacur
yang selalu siap melayani tamunya di setiap matahari memejamkan sinarnya
hampir mengkarikaturkan berjalannya sistem kelas yang baru di Parung.
Gadis Parung cenderung mengepresikan tingkat alienasi yang
dikombinasikan dengan keinginan akan uang dan kepemilikan akan materi.
Gadis-gadis
Parung yang peneliti temui, khususnya di warung remang-remang, tidak
semuanya menjual jasa dari tubuh mereka. Ada juga yang cuma menemani
minum para lelaki yang datang guna menambah uang belanja keluarga dan
sebagai penarik pelanggan datang. Gadis yang berspekulasi untuk
mendapatkan pekerjaan tidak semuanya bernasib baik. Warung remang adalah
alternatif satu satunya yang dapat memberikan mereka kemudahan untuk
mendapatkan uang. Bagaimana tidak, cara transaksi yang dilakukan oleh
para gadis sangatlah tidak sesuai dengan keadaan diluar atau pasaran.
Jika para tamu meminum minuman di warung tersebut lebih mahal harganya
ketimbang minum di airport, itu wajar adanya, lantaran
yang mahal bukan minumanya melainkan tempatnya. Menurut mereka, teh
botol misalnya, harganya berkisar sampai 12 ribu rupiah. Jika seorang
yang minum bir harganya pun lebih mahal dari biasanya dan mempunyai
kebiasaan yang “curang”, yaitu ketika tamu yang sudah mabuk maka botol
minuman ditambah diatas meja sehingga hitunganpun akan bertambah.
Warung
remang milik seorang lelaki yang letaknya tidak jauh dari hotel
Pendopo, mempekerjakan 4 orang gadis yang datang dari luar daerah; 2
gadis berasal dari bubaran Kramat Tunggak asal Sukabumi, sementara yang 2
lagi berasal dari Cianjur dan Banyuwangi. Mereka semua menemani minum
dan sekaligus menemani kencan para tamu yang berniat untuk melampiaskan
nafsu birahinya.
Rika 23 tahun, salah seorang dari mereka yang
terpaksa harus menjual tubuhnya hanya karena trauma dengan keluarga dan
sang suami yang meninggalkannya setelah “menghisap madunya”. Rika
adalah seorang mahasiswi dari salah satu universitas yang ada di
Bandung. Lantaran dia harus menikah dengan laki laki yang dipilih oleh
keluarganya sampai dia harus stop out kuliah dan akhirnya harus
berhenti karena hormatnya dengan suami yang ternyata adalah benalu
dalam keluarga. Rika, gadis yang trauma ini, bercerita kepada peneliti
dengan deraian air mata penyesalan dan kebencian dengan laki laki yang
datang guna untuk menikmati dirinya. Dia satu-satunya gadis yang sempat
menginjak bangku kuliah hingga semester empat. Trauma Rika dilampiaskan
lewat celotehnya dalam keadaan mabuk yang bernuansa syair. (Saya
lampirkan ungkapan hati Rika tersebut dalam skripsi ini, dengan judul “Air Mata Rika”.)
Di
lain tempat, di sebelah kanan, yang tidak jauh dari warung remang di
mana Rika selalu duduk, terdapat sebuh warung lagi. “Nur” yang selalu
mangkal di warung tersebut berasal dari Jawa Barat, tepatnya dari Tasik,
lantaran karena ekonomi yang menuntut Nur harus bekerja demi untuk
menghidupi keluarga di kampungnya. Nur harus menjalani hidup di Parung
sebagai seorang yang menemani untuk minum para tamu dan tak jarang untuk
kencan dengan para tamu yang mampir di tempatnya. Nur menganggap
dirinya tidak seperti gadis lainnya yang menganggap diri mereka kotor.
Tapi Nur merasa dirinya harus berjuang untuk kehidupan beberapa nyawa.
Nur mempunyai dua saudara yang masih duduk di bangku sekolah. Keduanya
perempuan; satu SMP dan satunya lagi SD. Ibu Nur yang sakit-sakitan,
semenjak ditinggal oleh suaminya yang telah meninggal beberapa tahun
lalu tak lagi bisa menghidupi keluarganya. Maka dari itu, Nur merasa
bahwa kehidupanlah yang patut disalahkan. “Apakah dosa jika aku
menyelamatkan keluargaku sendiri”, jawab Nur dengan nada yang agak
tinggi.
Ada
juga Marni, asli Cipelang Bogor, dinikahkan oleh orang tuanya pada usia
13 tahun (masih di sekolah dasar) dengan seorang petani yang sudah
tua. Mereka tidak cocok, kemudian Marni minta cerai lalu pergi ke
Jakarta pada tahun 1993. Ia kemudian menikah dengan Niko (panggilan), seorang
kuli kereta di Gambir yang dikenalnya di Jakarta. Mereka kawin hanya di
KUA saja tanpa harus meramaikannya. Lalu Niko berhenti dari pekerjaanya
sebagai kuli dan pindah ke pabrik yang letaknya di Cinangka, Parung.
Bertambahnya
anak, mulai menimbulkan masalah keuangan dalam keluarga mereka. Marni
ikut dalam memperjuangkanm keutuhan keluarga. Ia bekerja di warung
remang Parung dikala malam, dan di siang hari Marni harus mengambil
cucian. Akan tetapi Marni hanya menemani minum saja dan dia selalu
menolak ketika para tamu yang datang dengan pikiran kotor untuk mengajak
Marni. Sejak itu Marni dan Niko mengumpulkan modal hingga mereka
membuka sebuah warung di Parung dan tetap mengambil cucian di siang hari
yang di bantu oleh anak perempuanya tertua mereka yang masih SMU.
Mereka tinggal di rumah sendiri, dengan dua perempuan dan satu laki
laki.
Di
lain pihak, di sebuah warung indomi dan rokok yang letaknya persis di
depan kantor kelurahan Pondok Udik, terdapat seorang anak muda yang
bernama Andi yang masih duduk di bangku sekolah menengah umum dengan
seorang adik perempuannya. Kehadiran mereka semakin meramaikan
berjalannya kehidupan malam dan siang di desa tersebut. Warung Andi buka
20 jam. Andi berserta adik perempuannya, bergantian menjaga warung
tersebut guna untuk mendapatkan nafkah lahir. Pagi hari saat Andi
sekolah, yang menjaga warung tersebut adalah adiknya, di siang hari,
mereka berganti tugas. Tapi kalau di malam hari, dua bersaudara tersebut
seringkali dibantu dan ditemani bapak dan ibunya.
C. Penanganan Prostitusi
1. Respons Masyarakat Setempat
Dari
keterangan warga setempat yang peneliti peroleh dari wawancara dengan
beberapa warga masyarakat setempat (18/05/2003), diperoleh informasi
bahwa keberadaan warung remang-remang sebagai pusat mesum yang ada di
Desa Pondok Udik, sebetulnya bukan tidak diketahui oleh warga setempat.
Semua warga Desa Pondok Udik mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh
para wanita malam tersebut. Pada akhir tahun 2000, tepatnya sebelum
pergantian Kepala Desa, warga Pondok Udik pernah melakukan protes dengan
demontsrasi untuk menentang keberadaan warung remang-remang tersebut.
Untuk sementara waktu, setelah warga melakukan protes tersebut, warung
remang-remang memang tidak terlihat lagi.
Namun,
setelah ada pergantian Kepala Desa Pondok Udik, aktivitas warung
remang-remang terlihat kembali marak, bahkan lebih ramai dari
sebelumnya. Kepala Desa Pondok Udik yang baru rupanya memberikan peluang
bagi tumbuhnya warung remang-remang di wilayah kekuasaannya.
2. Respons Agamawan
Di
wilayah Desa Pondok Udik terdapat beberapa organisasi keagamaan, di
antaranya sebuah yayasan Islam yang letaknya persis di samping kantor
kelurahan. Respons dari para agamawan yang ada di desa tersebut jelas
sangat menentang adanya praktek kemaksiatan di wilayah Desa Pondok Udik.
Ketidaksetujuan mereka inilah juga yang menjadi penggerak warga
masyarakat desa untuk melakukan penentangan pada akhir tahun 2000
seperti dikemukakan di atas (sumber: Wawancara dengan salah seorang
warga pedagang di Desa Pondok Udik).
Namun,
pada waktu sekarang respons dari para agamawan seakan surut. Hal itu
disebabkan ketidaksetujuan mereka tidak mendapat dukungan dari pihak
aparat pemerintah yang ada di desa tersebut.
3. Respons Aparat Pemerintah
Untuk
menganalisis respons aparat pemerintah desa Pondok Udik ini, peneliti
mendapat kesulitan, karena susahnya untuk mendapat informasi dari pihak
pemerintah yang berwenang. Sikap para aparat desa sangat tertutup ketika
ditanya masalah warung remang-remang yang ada di wilayahnya. Hal itu
seakan-akan memberikan indikasi bahwa pihak pemerintah desa kurang
merespons terhadap berbagai praktek kemaksiatan yang ada, atau bahkan
seakan-akan menyetujui dan melindunginya.
D. Analisa Prostitusi dari Perspektif PMI
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab II, bahwa Pengembangan Masyarakat Islam (PMI/Tathwir)
dilakukan dalam rangka peningkatan sosial masyarakat, yang dilakukan
dengan kegiatan pokok: pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai
ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat, penggalangan ukhuwah islamiyyah, dan pemeliharaan lingkungan.
Berdasarkan
perspektif tersebut, maka para pelaku prostitusi tidak mesti dipandang
sebagai sesuatu yang harus dijauhi atau “penyakit masyarakat”. Betul
bahwa perbuatan maksiat harus dijauhi, akan tetapi pelaku maksiat tidak
mesti dikucilkan, melainkan sebaliknya didekati dengan tujuan memberikan
pengertian dan bimbingan terhadap mereka. Dakwah dalam perspektif ini,
berarti melakukan pendekatan terhadap mereka, sekaligus memberikan
bimbingan baik yang berupa bimbingan ajaran agama yang mesti mereka
patuhi maupun bimbingan untuk mencari jalan yang halal dalam mencari
kehidupan di dunia.
Di
samping itu, untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang islami mesti
disertai juga dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai
kemanusiaan ditegakkan. Tanpa adanya kesadaran dari masyarakat, maka
peran da’i tidak akan banyak berarti. Kesadaran masyarakat akan
nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai agama) inilah yang menjadi tugas
utama para da’i dalam membangunnya. Setelah terbangun kesadaran
masyarakat tersebut, secara pelan namun pasti mereka akan sadar dan
tergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai mulia tersebut
di lingkungannya.
By: harja saputra & fikri habsyi (2002)
Sumber : http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/05/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-2/
No comments:
Post a Comment