Anak-anak Bermain Sepakbola Di Desa Jabon Mekar

Sumber : Google
Mengembangkan Pembibitan Pohon Jabon di Desa Jabon Mekar
Desa Jabon Mekar di Parung Kab. Bogor mudah untuk diraih dari Jakarta dan Bogor. Desa Jabon Mekar ini potensial dikembangkan sebagai Desa Pembibitan Pohon Jabon yang prospektif untuk investasi karena kayu yang dapat dipanen menghasilkan angka yang menjanjikan. Saat ini bibit Pohon Jabon didatangkan dari lokasi yang jauh seperti jawa Tengah dll. Keberadaan Desa Jabon Mekar yang memproduksi bibit Pohon Jabon akan membangun perubahan sosial di masyarakat. efek domino yang diarapkan adalah perbaikan sosial di Desa Jabon Mekar dan sekitarnya.
Tentu saja pengembangan Desa Jampang sebagai Desa pembibitan Pohon Jabon memerlukan persiapan dan dukungan berbagai pihak. Namun hal ini tentu bukan mimpi yang tak dapat dicapai. Dengan pengembangan Desa Jabon mekar sebagai Desa Budidaya Pembibitan Pohon Jabon maka potensi pengembangan desa ini menjadi bertambah.
Demikian gagasan yang dilontarkan Arifin Purwakananta selaklu Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS) dalam kesempatan menemukan dan mendesain pengembangan dan inovasi sosial Desa Jabon mekar. Gagasan ini nantinya harus dilengkapi dengan kajian yang lengkap dan pelibatan masyarakat Desa Jabon Mekar hingga berimbas pada faktor ekonomi dan perubahan sosial serta perilaku masyarakat Desa Jabon Mekar pasca program budidaya pembibitan Pohon Jabon di desa ini.
Sekilas Kayu Jabon
Kayu Jabon adalah jenis pohon cahaya (light-demandera) yang sangat
cepat tumbuh. Dialam bebas pernah ditemukan tinggi pohon mencapai 45 m
dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter sampai 100 cm. Batang
lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir
sampai ketinggian 1,50 m, kulit luar berwarna kelabu coklat sampai
coklat, sedikit beralur dangkal, bentuk tajuk seperti payung dengan
sistim percabangan melingkar, daun relatif tidak lebat.
Sifat batang pohon Jabon sangat menguntungkan dalam pemeliharaan karena tidak membutuhkan pemangkasan dan batangnya mulus tidak bermata. Kecepatan pertumbuhan membesar dan meninggi luar biasa dibandingkan dengan tanaman kayu yang pernah dikenal. Dalam waktu umur 6 tahun telah dapat tumbuh dengan diameter batang antara 40-50 cm dan ketinggian batang mencapai 12 meter sehingga sudah mempunyai nilai ekonomis dibandingkan dengan jenis kayu komersial yang lain.
Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni-Agustus. Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat kecil. Jumlah biji kering udara 18-26 juta butir/Kg, jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir/ kaleng minyak tanah. Buah yang berukuran sedang dapat menghasilkan sekitar 8.300 pohon. Biji yang telah dikeringkan dan disimpan pada tempat yang tertutup rapat dalam ruang yang sejuk dapat tahan selama 1 tahun.
Dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim, dan dapat dipertahankan sampai seluruh permukaan areal ternaungi. Sifat ini sangat menguntungkan dan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi tradisi ladang berpindah yang menjadi kebiasaan masyarakat sekitar hutan.
Tanaman Jabon secara alami dapat dijumpai di Kalimantan, Papua, Sumatera, Jawa, dan Sumbawa, juga terdapat dibeberapa negara al : di India, Banglades, Srilangka, Miyanmar, Philipina dan Papua Nugini.
– Tekstur kayu halus tidak bermata sampai agak kasar dengan arah serat lurus, kadang-kadang agak berpadu.
– Kesan raba permukaan kayu licin atau agak licin dengan permukaan kayu jelas mengkilap atau agak mengkilap.
– Kelas keras II dengan tingkat kekerasan sedang (Moderateli Hard and Heavy), kelas awet V dengan Spesific Gravity 0,40 dan Calorific Value 4.800 calory.
Dengan dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk kebutuhan perumahan dan perabot keperluan rumah tangga, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan kayunya tanpa harus mengambil kayu ke hutan alam. Saat ini dengan ketatnya pelarangan Ilegal Logging, untuk memenuhi kebutuhan kayu yang sangat mahal dan langka dipasaran, masyarakat menebangi pohon buah-buahan seperti durian, manggis, kelapa. Apabila hal itu terus menerus dibiarkan berlanjut maka akan habislah seluruh tanaman buah-buahan yang ada sehingga suatu saat nanti untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan harus mengimpor dari luar negeri.
Pada akhirnya bila pohon buah-buahan masyarakat sudah habis masyarakat akan kembali merambah hutan, karena kebutuhan kayu pada dasarnya tidak dapat dicegah. Atas dasar pemikiran tersebut, dengan keunggulan-keunggulan yang dipunyai kayu Jabon, maka perlu menggalakkan masyarakat untuk menanam kayu Jabon, yang mana hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebutuhan kayu secara lestari, dan diharapkan nantinya masyarakat akan melakukan penanaman kayu secara spontan dan mandiri.
Dari percobaan penanaman di Kalimantan Selatan, tanaman Jabon yang ditanam pada tanggal 14 Maret 2004 diperoleh data sebagai berikut :
Biaya persiapan lahan dan penanaman per hektar dengan populasi standar 800
pohon per hektar sebesar Rp 6.115.500.
b. Pemeliharaan Tanaman Selama 6 Tahun
Biaya pemeliharaan tanaman selama 6 tahun per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 12.423.150.
c. Produksi Kayu Glondongan (Log)
Populasi awal = 800 pohon
Pohon layak tebang (80%) = 640 pohon
Diameter batang rata-rata = 40 cm
Panjang batang efektif = 10 meter
Produksi kayu Log per pohon = 0,5 m3
Produksi per hektar = 320 m3
d. Laba / Rugi per ha
Biaya persiapan penanaman = Rp 6.115.500
Biaya pemeliharaan selama 6 tahun = Rp 12.423.150
Biaya tebang dan angkut
(320 m3 x Rp 100.000/m3) = Rp 32.000.000
Jumlah Biaya = Rp 50.538.650
Pendapatan/ha/6 tahun
= 320 m3 X Rp 962.000/m3 = Rp 307.840.000
Laba/Rugi/ha/6 tahun
= Rp 307.840.000 – Rp 50.538.650 = Rp 257.301.350
Laba/ha/tahun = Rp 42.883.558
Sumber : http://jualbibitkayu.wordpress.com/2010/10/26/sekilas-kayu-jabon/
Sifat batang pohon Jabon sangat menguntungkan dalam pemeliharaan karena tidak membutuhkan pemangkasan dan batangnya mulus tidak bermata. Kecepatan pertumbuhan membesar dan meninggi luar biasa dibandingkan dengan tanaman kayu yang pernah dikenal. Dalam waktu umur 6 tahun telah dapat tumbuh dengan diameter batang antara 40-50 cm dan ketinggian batang mencapai 12 meter sehingga sudah mempunyai nilai ekonomis dibandingkan dengan jenis kayu komersial yang lain.
Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni-Agustus. Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat kecil. Jumlah biji kering udara 18-26 juta butir/Kg, jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir/ kaleng minyak tanah. Buah yang berukuran sedang dapat menghasilkan sekitar 8.300 pohon. Biji yang telah dikeringkan dan disimpan pada tempat yang tertutup rapat dalam ruang yang sejuk dapat tahan selama 1 tahun.
- Tempat tumbuh
Dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim, dan dapat dipertahankan sampai seluruh permukaan areal ternaungi. Sifat ini sangat menguntungkan dan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi tradisi ladang berpindah yang menjadi kebiasaan masyarakat sekitar hutan.
Tanaman Jabon secara alami dapat dijumpai di Kalimantan, Papua, Sumatera, Jawa, dan Sumbawa, juga terdapat dibeberapa negara al : di India, Banglades, Srilangka, Miyanmar, Philipina dan Papua Nugini.
- Ciri Umum kayu Jabon
– Tekstur kayu halus tidak bermata sampai agak kasar dengan arah serat lurus, kadang-kadang agak berpadu.
– Kesan raba permukaan kayu licin atau agak licin dengan permukaan kayu jelas mengkilap atau agak mengkilap.
– Kelas keras II dengan tingkat kekerasan sedang (Moderateli Hard and Heavy), kelas awet V dengan Spesific Gravity 0,40 dan Calorific Value 4.800 calory.
- Kegunaan kayu Jabon
Dengan dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk kebutuhan perumahan dan perabot keperluan rumah tangga, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan kayunya tanpa harus mengambil kayu ke hutan alam. Saat ini dengan ketatnya pelarangan Ilegal Logging, untuk memenuhi kebutuhan kayu yang sangat mahal dan langka dipasaran, masyarakat menebangi pohon buah-buahan seperti durian, manggis, kelapa. Apabila hal itu terus menerus dibiarkan berlanjut maka akan habislah seluruh tanaman buah-buahan yang ada sehingga suatu saat nanti untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan harus mengimpor dari luar negeri.
Pada akhirnya bila pohon buah-buahan masyarakat sudah habis masyarakat akan kembali merambah hutan, karena kebutuhan kayu pada dasarnya tidak dapat dicegah. Atas dasar pemikiran tersebut, dengan keunggulan-keunggulan yang dipunyai kayu Jabon, maka perlu menggalakkan masyarakat untuk menanam kayu Jabon, yang mana hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebutuhan kayu secara lestari, dan diharapkan nantinya masyarakat akan melakukan penanaman kayu secara spontan dan mandiri.
Dari percobaan penanaman di Kalimantan Selatan, tanaman Jabon yang ditanam pada tanggal 14 Maret 2004 diperoleh data sebagai berikut :
Pohon | Umur 6 Bulan | Umur 12 Bulan | Umur 20 Bulan | Umur 24 Bulan | ||||
Diameter | Tinggi | Diameter | Tinggi | Diameter | Tinggi | Diameter | Tinggi | |
(cm) | (m) | (cm) | (m) | (cm) | (m) | (cm) | (m) | |
1 | 5,09 | 2,30 | 10,50 | 5,60 | 15,92 | 10,00 | 17,00 | 12,00 |
2 | 5,73 | 2,71 | 12,73 | 6,25 | 16,56 | 11,65 | 18,00 | 12,00 |
3 | 5,73 | 2,45 | 11,14 | 5,60 | 14,65 | 10,70 | 15,00 | 12,00 |
4 | 5,09 | 2,37 | 11,45 | 6,05 | 16,56 | 11,08 | 18,00 | 12,00 |
5 | 4,35 | 2,11 | 11,14 | 5,40 | 15,92 | 10,55 | 18,50 | 12,00 |
6 | 3,18 | 1,47 | 9,55 | 4,80 | 13,38 | 8,92 | 14,50 | 12,00 |
7 | 5,09 | 2,67 | 11,14 | 6,15 | 14,65 | 10,55 | 15,00 | 12,00 |
8 | 5,73 | 3,44 | 12,73 | 6,20 | 15,29 | 10,70 | 17,00 | 12,00 |
Rerata | 5,02 | 2,46 | 11,31 | 5,76 | 15,29 | 10,36 | 16,56 | 12,00 |
- Analisa Usaha Kayu Jabon
Biaya persiapan lahan dan penanaman per hektar dengan populasi standar 800
pohon per hektar sebesar Rp 6.115.500.
b. Pemeliharaan Tanaman Selama 6 Tahun
Biaya pemeliharaan tanaman selama 6 tahun per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 12.423.150.
c. Produksi Kayu Glondongan (Log)
Populasi awal = 800 pohon
Pohon layak tebang (80%) = 640 pohon
Diameter batang rata-rata = 40 cm
Panjang batang efektif = 10 meter
Produksi kayu Log per pohon = 0,5 m3
Produksi per hektar = 320 m3
d. Laba / Rugi per ha
Biaya persiapan penanaman = Rp 6.115.500
Biaya pemeliharaan selama 6 tahun = Rp 12.423.150
Biaya tebang dan angkut
(320 m3 x Rp 100.000/m3) = Rp 32.000.000
Jumlah Biaya = Rp 50.538.650
Pendapatan/ha/6 tahun
= 320 m3 X Rp 962.000/m3 = Rp 307.840.000
Laba/Rugi/ha/6 tahun
= Rp 307.840.000 – Rp 50.538.650 = Rp 257.301.350
Laba/ha/tahun = Rp 42.883.558
Sumber : http://jualbibitkayu.wordpress.com/2010/10/26/sekilas-kayu-jabon/
Patut Dicontoh : Tri Rismaharini Rela Mati Demi Tutup Lokalisasi
Metrotvnews.com, Jakarta: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menegaskan bahwa perlahan namun pasti, lokalisasi prostitusi di kotanya akan ditutup semua.
"Di kita lokalisasi ada lima, saya sudah tutup tiga," katanya seusai menjadi pembicara Series Seminar bertajuk Indonesia Menjawab Tantangan: Kepemimpinan Menjadi Bangsa Pemenang yang digagas Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta, Jumat (29/11).
Di penghujung tahun nanti, menurutnya satu lokalisasi lainnya akan ditutup. Lalu terakhir, pihaknya menargetkan pertengahan 2014 nanti lokalisasi terbesar di Surabaya yakni Dolly, sudah ditutup pula.
Meski diakui bahwa banyak demo dan desakan dari berbagai pihak, bahkan dari Jakarta, agar mengurungkan niat penutupan lokalisasi, perempuan yang akrab dipanggil Risma itu menegaskan takkan gentar. "Saya rela mati demi ini," tandasnya yakin.
Keteguhan itu tidak terlepas dari alasan awal keinginannya menutup lokalisasi. Risma bercerita bahwa dulu saat banyak kalangan, terutama kiai, yang memintanya menutup kawasan prostitusi, dialah yang justru tidak yakin mampu. "Kalau saya tutup saat itu, saya belum bisa kasih makan," kisahnya.
Bila demikian, dia meyakini penutupan justru akan menimbulkan masalah baru karena para pekerja seks komersial boleh jadi justru membuka kawasan prostitusi di mana-mana.
Alasan lainnya kenapa dulu ia tidak begitu berkeras untuk menutup lokalisasi, adalah terkait tanggung jawab. "Saya nggak pernah buka kok saya harus nutup," katanya jenaka.
Namun kemudian pandangan itu berangsur berubah sejak dia menyadari bahwa banyak korban perdagangan manusia (human trafficking) banyak terjerumus ke lokalisasi. Keberadaan para korban itu di sana, tentu saja bukan karena kehendak mereka sendiri.
Tetapi kalau berbicara puncak munculnya keyakinan memberangus lokalisasi prostitusi, Risma mengungkap itu tidak terlepas dari perkenalannya dengan seorang pekerja seks komersial yang masih menjajakan tubuhnya walaupun sudah berusia 62 tahun. Suatu kali saat berkeliling ke lokalisasi dan menemui perempuan itu, Risma mengaku heran mengapa nenek itu masih menjadi PSK.
Dia lantas bertanya, "Memang siapa yang sih yang mau (menggunakan jasanya yang sudah tua)?" Jawaban perempuan itu kemudian membuatnya tercengang. "Anak SMP/SMA yang cuma punya seribu dua ribu juga saya layani," katanya mengulangi kalimat PSK tersebut.
Bagi Risma, hal itu persoalan besar. Dia tidak rela membiarkan lebih banyak ada anak-anak muda di kotanya menjadi korban karena menikmati prostitusi di lokalisasi. Lagi-lagi dia menegaskan, "Saya rela mati demi ini." (Hera Khaerani)
Editor: Agus Tri Wibowo
Sumber : http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/11/29/198077/Tri-Rismaharini-Rela-Mati-Demi-Tutup-Lokalisasi
"Di kita lokalisasi ada lima, saya sudah tutup tiga," katanya seusai menjadi pembicara Series Seminar bertajuk Indonesia Menjawab Tantangan: Kepemimpinan Menjadi Bangsa Pemenang yang digagas Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta, Jumat (29/11).
Di penghujung tahun nanti, menurutnya satu lokalisasi lainnya akan ditutup. Lalu terakhir, pihaknya menargetkan pertengahan 2014 nanti lokalisasi terbesar di Surabaya yakni Dolly, sudah ditutup pula.
Meski diakui bahwa banyak demo dan desakan dari berbagai pihak, bahkan dari Jakarta, agar mengurungkan niat penutupan lokalisasi, perempuan yang akrab dipanggil Risma itu menegaskan takkan gentar. "Saya rela mati demi ini," tandasnya yakin.
Keteguhan itu tidak terlepas dari alasan awal keinginannya menutup lokalisasi. Risma bercerita bahwa dulu saat banyak kalangan, terutama kiai, yang memintanya menutup kawasan prostitusi, dialah yang justru tidak yakin mampu. "Kalau saya tutup saat itu, saya belum bisa kasih makan," kisahnya.
Bila demikian, dia meyakini penutupan justru akan menimbulkan masalah baru karena para pekerja seks komersial boleh jadi justru membuka kawasan prostitusi di mana-mana.
Alasan lainnya kenapa dulu ia tidak begitu berkeras untuk menutup lokalisasi, adalah terkait tanggung jawab. "Saya nggak pernah buka kok saya harus nutup," katanya jenaka.
Namun kemudian pandangan itu berangsur berubah sejak dia menyadari bahwa banyak korban perdagangan manusia (human trafficking) banyak terjerumus ke lokalisasi. Keberadaan para korban itu di sana, tentu saja bukan karena kehendak mereka sendiri.
Tetapi kalau berbicara puncak munculnya keyakinan memberangus lokalisasi prostitusi, Risma mengungkap itu tidak terlepas dari perkenalannya dengan seorang pekerja seks komersial yang masih menjajakan tubuhnya walaupun sudah berusia 62 tahun. Suatu kali saat berkeliling ke lokalisasi dan menemui perempuan itu, Risma mengaku heran mengapa nenek itu masih menjadi PSK.
Dia lantas bertanya, "Memang siapa yang sih yang mau (menggunakan jasanya yang sudah tua)?" Jawaban perempuan itu kemudian membuatnya tercengang. "Anak SMP/SMA yang cuma punya seribu dua ribu juga saya layani," katanya mengulangi kalimat PSK tersebut.
Bagi Risma, hal itu persoalan besar. Dia tidak rela membiarkan lebih banyak ada anak-anak muda di kotanya menjadi korban karena menikmati prostitusi di lokalisasi. Lagi-lagi dia menegaskan, "Saya rela mati demi ini." (Hera Khaerani)
Editor: Agus Tri Wibowo
Sumber : http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/11/29/198077/Tri-Rismaharini-Rela-Mati-Demi-Tutup-Lokalisasi
Hotel 'Mesum' Transit Parung Disegel Satpol PP Secara Tertutup
Kamis, 12/07/2012 13:33:15 | syaiful falah |
Menurut agenda yang disampaikan minggu lalu oleh Kepala Satuan (Kasat) Pol PP Kabupaten Bogor, Dace Supriadi rencananya pekan depan pada hari Rabu 18 Juli 2012 akan dilakukan pembongkaran. Dalam waktu sepekan pemkab Bogor memberikan waktu kepada pemilik hotel untuk membongkar sendiri dan jika tetap membandel, pihaknya akan melakukan eksekusi. "Jika sampai waktu seminggu tidak dilakukan, kami terpaksa akan membongkarnya," ujar Dace.
Masyarakat menghendaki agar menjelang bulan Ramadhan hotel transit ini harus sudah di bongkar, namun ada informasi beredar untuk pembongkaran IMB nya harus dicabut dahulu, dan itu akan memakan waktu lama lagi prosesnya. Karena itulah KH. Khaerul Yunus wakil ketua FKUB yang hadir ke lokasi mempertanyakan “Kenapa masalah ini harus mundur-mundur? Jika sampai bulan Ramadhan ini belum di bongkar kita khawatir masyarakat yang sudah sabar selama ini melakukan tindakannya sendiri. Kita ingat dahulu ada kasus Ahmadiyah di daerah sini juga, itu massa yang turun lebih dari 10.000 orang. Apalagi ini yang akan mengganggu bulan ramadhan yang penuh dengan kesucian,” papar Kiyai Yunus kepada Suara Islam Online.
Sementara itu KH Rodja ketua FKUB Kabupaten Bogor menyatakan akan terus mengawal proses penegakkan hukum ini. "Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengawasi Hotel Transit ini," tegasnya. Selain unsur FKUB, turut hadir massa dari unsur ormas Islam diantaranya FPI, MMI, FBR, GARIS, GEMPETA, P2B, KARAM dan lain-lain, dan mereka semua menyatakan akan mengawal proses pembongkaran tempat maksiat ini hingga tuntas.
Namun sayang ketika masyarakat setempat menginginkan wilayahnya bebas dari pelacuran dan peredaran narkoba, ternyata Hotel Transit yang sudah diberi peringatan tiga kali itu malah terkesan menantang dengan mengerahkan massa pendukungnya, beruntung massa tersebut berada didalam lokasi tertutup yang jauh dari gerbang hotel sehingga tidak terjadi bentrokan dengan masyarakat yang berada diluar gedung.
Sumber : http://www.suara-islam.com/read/index/4954/Hotel--Mesum--Transit-Parung-Disegel-Satpol-PP-Secara-Tertutup
Si ustadz 'Pijat" dari Desa Jabon Mekar
November 17, 2012
Institutkemandirian.org
– Malam tanggal 5 November 2012, sekitar 15 orang para pemuda-pemudi
tangguh (siswa IK-DD) duduk di atas karpet merah Selasar Asrama
Wakayapa. Dengan suasana yang santai tapi tetap serius, mata mereka
fokus menatap whiteboard dan sosok seorang pria religius
dihadapannya. Lelaki itu tubuhnya tidak terlalu tinggi dan juga kurus.
Ciri khasnya selalu mengenakan ‘topi dinas’ yaitu peci berwarna putih.
Tutur katanya lembut begitu juga dengan sikapnya. Pria sederhana
tersebut adalah Kang Nana. Kadang teman-teman yang lain memanggilnya
dengan Ustadz Nana. Beliau adalah satu diantara siswa pelatihan kelas
Fashion & Design Angkatan ke VI Institut Kemandirian Dompet Dhuafa.
Selain belajar tentang jahit dan desain pakaian, Kang Nana masih mau
membagi ilmu agama yang Ia miliki kepada siswa lainnya dan manajemen
IK-DD. Hal inilah yang membuat kami bangga. Karena Kang Nana tidak hanya
membantu proses pembelajaran karakter tetapi juga bisa dijadikan
teladan bagi rekan-rekannya.Pendidikan formal terakhir Kang Nana adalah lulusan SD di Bogor. Anak ke 3 dari 4 bersaudara. Tinggal di Desa Jabon Mekar Kabupaten Bogor. Kang Nana yang tahun ini berusia 32 tahun adalah pria yang rajin belajar ilmu agama sejak dini. Tentang ekonomi keluarganya, mereka tidak mau menyerah. Dengan kompak dan komando dari sang ayah, akhirnya hari demi hari kebutuhan keluarga bisa terpenuhi walaupun tidak banyak. Orangtuanya juga selalu memberikan bekal agama bagi Nana. Kegigihan orangtuanya dijadikan pelecut bagi Nana untuk bisa menjadi orang yang lebih baik lagi tiap saat dan bisa memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Dan setelah belajar dari majelis ke majelis (satu diantaranya pernah belajar di pesantren Al-Muthminnah di desanya), Nana memilih melanjutkan belajar di IK-DD. Nana berharap dengan belajar di IK-DD, Ia bisa membantu keuangan keluarga. “Selain kakak, saya adalah tumpuan bagi Abi, ummi dan adik” ujarnya. Lalu Ia menambahkan, “jadi saya harus segera bisa bantu, ya salah satunya ikut belajar jahit di IK ini”. Dan seperti siswa lainnya, Kang Nana juga memiliki impian membuka usaha yang nantinya bisa membantu warga sekitar.
Aktifitas pengajian yang rutin diadalakan tiap pekan adalah satu diantara program character building dari Institut Kemandirian Dompet Dhuafa. Program ini sangat bermanfaat bagi para siswa. Ditambah sejak tanggal 5 November 2012 tersebut dimulai juga pelatihan gratis bahasa Arab bagi siswa yang juga diajarkan oleh Kang Nana dan rekannya. Untuk mengetahui pembangunan atau pendidikan karakter, ada kutipan singkat dari Prof . Suyanto Ph.D dalam laman Kemendiknas :
“Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.”Dengan semangat dan penuh pengharapan, Fepti, satu diantara peserta pengajian berkomentar, “Saya senang ada pengajian, apalagi saya belum pernah belajar makhrojul huruf. Cara penyampaian Ustadz Nana mudah dicerna. Saya ingin program ini terus berlangsung dan Ustadz Nana harus tetap semangat”.
Masih di Selasar Asrama Wakayapa, waktu sudah mendekati jam 8 malam. Perut sebagian para peserta sudah ‘mengirim SMS’ yang berisi : saatnya makan malam. Akhirnya, Ustadz Nana yang diberikan bakat pijat, mengkaji kembali materi yang tadi diberikan kepada peserta. “Kita ulang ya ..jadi tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Sedangkan makhrojul huruf adalah suatu nama tempat yang mana tempat tersebut huruf dibentuk dan diucapkan” ulangnya kepada para peserta. Tidak lama kemudian, pengajian ditutup dan Alhamdulillah satu kebaikan sudah diberikan kepada orang lain. Semoga kebaikan tersebut berbalas pahala dari Alloh ta’ala untuk Ustad ‘pijat’ kita dan juga bisa dijadikan inspirasi bagi kita..amiin. (arlin)
Sumber : http://institutkemandirian.org/si-ustadz-pijat-dari-desa-jabon-mekar/
Diduga Kena Suap , Kepala Desa Jabon Mekar Usir Wartawan
BOGOR, TRIBUNEKOMPAS.
By: Rahmat. H.
-Pembangunan
gedung Ruko bertingkat di kampung Jabon Rt 03 Rw 01 diduga belum
memiliki izin bangunan, pemilik bangunan Ruko Baihaqi ketika dikonfomasi
wartawan mengatakan,’’Bangunan Ruko saya memang belum memiliki izin
bangunan, tapi saya sudah mengeluarkan uang besar kepada Kades
Jabonmekar untuk mengurus izin, walaupun saya belum mendapatkan izin
bangunan tapi sudah ada izin dari kepala Desa Jabonmekar," Baihaqi juga
mengatakan,’’ ini tanah –tanah saya, bangunan – bangunan saya, apa saya
salah,’’ kata Baihaqi saat di konfirmasi Tribunekompas.
Kepala Kasi Pembangunan Zaenal Abidin kecamatan Parung Kabupaten Bogor mengatakan kepada wartawan ,’’Bangunan di Jabon memang belum memiliki izin bangunan , saya sudah menegur pemilik bangunan untuk menghentikan kegiatan , kalau tidak memiliki izin bangunan nanti kita bongkar bangunannya ,’’ ucap Zaenal .
Kepala Desa Jabonmekar Ibu Inah ketika dikonfirmasi wartawan diruang kerjanya tidak mau berkomentar hanya berkata no coment, sambil menggebrak meja dan mengusir para
wartawa dari ruang kerjanya.
Kepala Kasi Pembangunan Zaenal Abidin kecamatan Parung Kabupaten Bogor mengatakan kepada wartawan ,’’Bangunan di Jabon memang belum memiliki izin bangunan , saya sudah menegur pemilik bangunan untuk menghentikan kegiatan , kalau tidak memiliki izin bangunan nanti kita bongkar bangunannya ,’’ ucap Zaenal .
Kepala Desa Jabonmekar Ibu Inah ketika dikonfirmasi wartawan diruang kerjanya tidak mau berkomentar hanya berkata no coment, sambil menggebrak meja dan mengusir para
wartawa dari ruang kerjanya.
Kades
Inah mengatakan,’’ kalian jangan pernah datang ke kantor Desa saya lagi
dan kalian akan saya laporkan kepada Bimas ,’’ ucapnya marah .
Wakil ketua Forum Wartawan Bogor Limbong Boston mengatakan ,’’Saya tidak terima wartawan diusir dan dicegah untuk mencari berita hal tersebut melanggar UUD pers no 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers, barang siapa mengalang-halangi, mencegah tugas wartawan dapat di penjara selama 2 tahun dan denda 500 juta dan melanggar UUD KIP no 15 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
"Saya
sangata sesalkan ada pejabat publik ,penyelenggara Negara , kepala Desa
seperti itu tidak dapat dibiarkan saya akan turunkan anggota Forum
Wartawan Bogor untuk mendemo dan membawa persoalan ini ke jalur hukum
,’’ ucap Limbong Boston .
Diposkan oleh
Tribunekompas.comSumber : http://trikomonlinebotabek.blogspot.com/2013/10/diduga-kena-suap-kepala-desa-jabon.html
Menghadiri undangan Isra Mi’raj di Kelurahan Jabon Mekar, Parung
Pada hari Sabtu kemarin Kelurahan Jabon Mekar mengadakan acara Isra
Mi’raj Nabi Muhammad.SWT, yang dihadiri oleh Bp.Bupati Bogor , H.Rhoma
Irama serta para Alim Ulama seperti KH.Madroja dan KH.Royani, Kapolsek
Parung dan Pejabat Muspida Daerah yaitu Ibu.Ina Yuliana yang juga
sebagai Kepala Desa Jabon Mekar .
Suatu kehormatan yang tiada tara untuk kita sebagai warga Vila Gading Permai yang masih baru tinggal diwilayah Jabon Mekar Kampung Sawah mendapatkan undangan dalam hal ini yang diwakili oleh Bp.Rusdiana beliau adalah mantan koordinator Vgp, Bp.Ustadz.Maki dan Bp. Nanang. Setiawan.
Sebagai warga baru di wilayah Jabon Mekar Parung Bogor tepatnya di Vila Gading Permai diharapkan bisa menjadi contoh sebagai warga yang mementingkan KEBERSAMAAN dan penuh dengan Tenggang rasa yang tinggi kepada warga atau masyarakat dimana saja.
Oleh karena itu suasana yang sudah terbangun harus kita pelihara, jaga terus dan kita tingkatkan sampai kepada generasi mendatang, Mari terus kita rapatkan barisan dan kita galang tali Silatuhrohmi sesama warga Vgp dan warga luar komplek Perumahan Vila Gading Permai agar semakin erat hubungan sesama warga dan semakin lancar lagi rezeki kita semua .Amin 3 X. Salam kompak dan salam Vgp.( Kr) A2/7
Sumber : http://vgpparung.wordpress.com/2013/06/18/menghadiri-undangan-isra-miraj-di-kelurahan-jabon-mekar-parung/
Suatu kehormatan yang tiada tara untuk kita sebagai warga Vila Gading Permai yang masih baru tinggal diwilayah Jabon Mekar Kampung Sawah mendapatkan undangan dalam hal ini yang diwakili oleh Bp.Rusdiana beliau adalah mantan koordinator Vgp, Bp.Ustadz.Maki dan Bp. Nanang. Setiawan.
Sebagai warga baru di wilayah Jabon Mekar Parung Bogor tepatnya di Vila Gading Permai diharapkan bisa menjadi contoh sebagai warga yang mementingkan KEBERSAMAAN dan penuh dengan Tenggang rasa yang tinggi kepada warga atau masyarakat dimana saja.
Oleh karena itu suasana yang sudah terbangun harus kita pelihara, jaga terus dan kita tingkatkan sampai kepada generasi mendatang, Mari terus kita rapatkan barisan dan kita galang tali Silatuhrohmi sesama warga Vgp dan warga luar komplek Perumahan Vila Gading Permai agar semakin erat hubungan sesama warga dan semakin lancar lagi rezeki kita semua .Amin 3 X. Salam kompak dan salam Vgp.( Kr) A2/7
Sumber : http://vgpparung.wordpress.com/2013/06/18/menghadiri-undangan-isra-miraj-di-kelurahan-jabon-mekar-parung/
Hiduplah Seperti Kedua Tangan
“Tak usah bingung jika ingin masyarakat aman dan tentram.
Kembalilah ke al-Qur’an.” Kata K.H. Zainudin Nur B.A dalam acara
pembukaan pengajian bulanan sekaligus acara halal bihalal wilayah RW 03
Desa Jabon Mekar, Parung, Bogor. Kiayi Zainudin menyampaikan hal
tersebut sebagai saran beliau kepada Ibu Kepala Desa Jabon Mekar, Bu
Ina, yang memohon do’a dari Kiayi Zainudin untuk keamanan warga Jabon
Mekar, (Kamis, 30 Agustus 2012).
“Al-Qur’an yang diturunkan pada Bulan Ramadhan merupakan sebuah petunujuk hidup bagi manusia, sebagai pembeda antara yang benar dengan yang bathil.” Tambah Kiayi Zainudin dalam ceramahnya. Beliaupun mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 saja yang buatan manusia yang jumlah pasal dan ayatnya tidak seberapa dibanding dengan al-Qur’an dapat mengatur kehidupan bangsa Indonesia, apa lagi al-Qur’an yang dibuat langsung oleh Allah yang menciptakan manusia.
Selanjutnya Kiayi Zainudin menjelaskan tentang hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama. Hubungan manusia dengan Allah diaplikasikan dengan ibadah ritual yang wajib umat Islam laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk hubungan manusia dengan sesama diwujudkan dengan hidup rukun, tidak saling iri dan dengki.
“Hiduplah seperti kedua tangan.” Tambah Kiayi Zainudin ketika menjelaskan hubungan manusia dengan sesama. Tangan kanan dan kiri selalu saling bantu membantu. misalnya ketika kita makan buah pisang. tangan kiri memegang pisang dan tangan kanan membuka kulit pisangnya. Walau tangan kanan sudah bersusah payah membuka kulit pisang, namun dengan rela tangan kiri yang memegang pisangnya untuk dimasukkan ke dalam mulut. Karena dalam Islam dianjurkan untuk makan dengan tangan kanan maka dengang ikhlas tangan kiri memberikan pisang ke tangan kanan. Begitulah seharusnya kehidupan masyarakat, yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain
Pengajian yang dilaksanakan di pelataran Masjid Jami’ al-Aqsha ini mengundang seluruh warga yang berada di lingkungan RT 1 sampai RT 5. Banyak warga yang menghadiri acara yang dilaksanakan selepas shalat Isya hingga menjelang pukul 23.00 WIB tersebut. Begitu juga dengan beberapa warga Vila Gading Permai yang belum genap satu tahun tinggal di wilayah Jabon Mekar turut memenuhi undangan dari Sekretariat Pengajian Bulanan Wilayah RW 03 yang diketuai oleh Bapak Arman Suherman, Ketua RW 03.
Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/31/hiduplah-seperti-kedua-tangan-489824.html
“Al-Qur’an yang diturunkan pada Bulan Ramadhan merupakan sebuah petunujuk hidup bagi manusia, sebagai pembeda antara yang benar dengan yang bathil.” Tambah Kiayi Zainudin dalam ceramahnya. Beliaupun mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 saja yang buatan manusia yang jumlah pasal dan ayatnya tidak seberapa dibanding dengan al-Qur’an dapat mengatur kehidupan bangsa Indonesia, apa lagi al-Qur’an yang dibuat langsung oleh Allah yang menciptakan manusia.
Selanjutnya Kiayi Zainudin menjelaskan tentang hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama. Hubungan manusia dengan Allah diaplikasikan dengan ibadah ritual yang wajib umat Islam laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk hubungan manusia dengan sesama diwujudkan dengan hidup rukun, tidak saling iri dan dengki.
“Hiduplah seperti kedua tangan.” Tambah Kiayi Zainudin ketika menjelaskan hubungan manusia dengan sesama. Tangan kanan dan kiri selalu saling bantu membantu. misalnya ketika kita makan buah pisang. tangan kiri memegang pisang dan tangan kanan membuka kulit pisangnya. Walau tangan kanan sudah bersusah payah membuka kulit pisang, namun dengan rela tangan kiri yang memegang pisangnya untuk dimasukkan ke dalam mulut. Karena dalam Islam dianjurkan untuk makan dengan tangan kanan maka dengang ikhlas tangan kiri memberikan pisang ke tangan kanan. Begitulah seharusnya kehidupan masyarakat, yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain
Pengajian yang dilaksanakan di pelataran Masjid Jami’ al-Aqsha ini mengundang seluruh warga yang berada di lingkungan RT 1 sampai RT 5. Banyak warga yang menghadiri acara yang dilaksanakan selepas shalat Isya hingga menjelang pukul 23.00 WIB tersebut. Begitu juga dengan beberapa warga Vila Gading Permai yang belum genap satu tahun tinggal di wilayah Jabon Mekar turut memenuhi undangan dari Sekretariat Pengajian Bulanan Wilayah RW 03 yang diketuai oleh Bapak Arman Suherman, Ketua RW 03.
Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/31/hiduplah-seperti-kedua-tangan-489824.html
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROSTITUSI [1]
(Sebuah Penelitian di Warung Remang-remang Desa Pondok Udik, Parung, Bogor)
by: harja saputra & fikri habsyi (2002)
Sumber : http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/03/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-sebuah-penelitian-di-warung-remang-remang-desa-pondok-udik-parung-bogor-1/
by: harja saputra & fikri habsyi (2002)
Sumber : http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/03/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-sebuah-penelitian-di-warung-remang-remang-desa-pondok-udik-parung-bogor-1/
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan penyimpangan norma yang berlaku pada masyarakat tersebut (Soekanto, 1989:79).
Seperti
diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan
sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang
luas, interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota
masyarakat dengan berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang
sedang berlaku di sebuah negara di mana masyarakat itu bernaung—bisa
berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan, kebijakan pemerintah,
dan sebagainya.
Di
antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh
negara adalah prostitusi. Tak syak lagi, prostitusi memang sudah berumur
tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang
lalu. Seks dan wanita adalah dua kata kunci yang terkait dengan
prostitusi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada dalam diri
manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga bisa berarti sebuah
ungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Sedangkan
wanita adalah satu jenis makhluk Tuhan yang memang diciptakan sebagai
simbol keindahan. Maka fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah
seks selalu identik dengan wanita. Namun, celakanya lagi, yang selalu
menjadi korban dari keserakahan seks adalah juga wanita.
Dikarenakan
wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya
menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu
menghasilkan uang. Itulah sebabnya kenapa wanita selalu ada saja yang
mengumpulkan dalam suatu tempat dan berusaha “dijual” kepada siapa saja
yang membutuhkan “jasa sesaat”nya. Lelaki, meskipun ada yang menjual
dirinya, tapi jarang ditemukan dikumpulkan dalam suatu tempat seperti
halnya wanita; atau jika ada pun, umumnya para lelaki tersebut berubah
wujud menjadi wanita agar diakui keindahannya yang dengannya mudah untuk
menentukan tarif yang dikehendakinya.
Prolog
di atas adalah hasil analisis peneliti secara umum mengenai fenomena
munculnya lokalisasi yang menjajakan jasa wanita sebagai pekerja seks.
Namun, mengenai faktor-faktor yang spesifik mengenai sebab para wanita
terjun ke dunia seks dan melakukan penyimpangan sosial, hal itu perlu
diadakan sebuah penelitian lebih lanjut dengan melibatkan mereka secara
langsung.
Lebih
jauh, sebagai asumsi dasar, dapat dikatakan bahwa kehidupan wanita
dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama
yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”. Faktor internal adalah
yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan
dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara
langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor
luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor
eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh
lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan percintaan, dan
sebagainya.
Faktor-faktor
penyebab prostitusi di atas masih bersifat asumsi yang membutuhkan
pembuktian secara empiris dengan mengujinya di lapangan melalui sebuah
penelitian yang dapat menghasilkan data yang valid. Dikarenakan alasan
tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
mengenai “Analisa Faktor-faktor Penyebab Prostitusi” dengan mengambil
sampel di Desa Pondok Udik, Parung, Kabupaten Bogor.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, peneliti dapat merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan prostitusi di warung remang remang desa Pondok Udik Parung, Bogor?
- Dari sejumlah faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor manakah yang dominan menjadi penyebab maraknya prostitusi?
- Bagaimana penanganan prostitusi di desa Pondok Udik Parung, Bogor oleh masyarakat, pemerintah dan agama.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROSTITUSI [2]
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Desa Pondok Udik, Parung, Bogor, khususnya di
warung remang-remang yang terdapat di sepanjang jalan raya
Parung-Bogor. Di sepanjang jalan raya Parung-Bogor terdapat enam desa
yaitu Parung, Lebak wangi, Jabon mekar, Jampang, Pondok udik, Kemang dan
Parakan jaya yang masing- masing memiliki ciri khas yang berbeda. Namun
yang pasti, sepanjang jalur tersebut memiliki persamaan mendasar yaitu
dengan didirikannya banyak warung remang-remang. Di samping itu,
persamaan mendasarnya juga tercermin dari seringnya terjadi kerusuhan
antara pemilik warung dengan masyarakat di lokasi tersebut, sehingga
menimbulkan kesan negatif bagi siapa saja yang melewati jalur tersebut.
Hanya
ada satu desa saja, Jampang yang hingga saat ini “bersih” dari warung
remang-remang karena masyarakat setempat mengadakan demo yang didukung
oleh kepala desa setempat pada tahun 1999/2000. Tetapi di beberapa desa
lainnya masih terlihat warung remang remang. Yang paling ramai, tercatat terletak di desa Pondok Udik.
Parung Bogor, tepatnya desa Pondok Udik, dengan warung remang-remang yang dihiasi oleh para gadis-gadis memang
sudah dikenal oleh banyak kalangan. Penataan tempat tersebut sepintas
memang disediakan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi, para gadis yang
duduk di tempat tersebut bukan penduduk asli setempat melainkan
pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Karenanya mereka sebenarnya
tidak terdata oleh kelurahan desa. Bahkan semenjak bubarnya lokalisasi
Kramat Tunggak di tahun 2002, tercatat terjadinya eksodus besar-besaran
para Pekerja Seks Komersil yang sebelumnya tersentralisasi di Kramat
Tunggak, ke daerah Parung Bogor ini.
Warung
remang dan para gadisnya ini, secara keseluruhan, dijaga oleh Pak Karna
selaku polisi desa Pondok Udik. Dalam sebuah proses wawancara
(25/5-2003) di rumahnya, ketika ditanya tentang latarbelakang
sentralisasi lokasi prostitusi di Parung ini, beliau berkata:“Daripada
berkeliaran ke mana mana lebih baik mereka di sini, toh yang penting
keamanan terjamin dan masyarakat pun tidak mengubris hal tersebut”. Di sisi lain, orang yang melintas di daerah itu pun terkesan menikmati pemandangan yang indah di sepanjang kiri dan kanan jalan.
Secara
geografis, jalan raya Parung adalah jalan administratif ke Bogor,
sehingga daerahnya pun sebenarnya sangat strategis. Ini memberikan
kelebihan tersendiri bagi lokasi warung remang tersebut untuk dijangkau
masyarakat, baik yang berada di daerah sekitar Bogor sendiri maupun di
luar Bogor.
Parung
di malam hari relatif ramai, dengan sebuah terminal yang agak jauh dari
warung remang-remang, kira kira 15 menit perjalanan melalui angkot ini
sangat mendukung suasana malam parung. Warung remang di Parung, Bogor,
adalah tempat mangkal para gadis yang datang dari berbagai daerah di
Indonesia. Mereka duduk bergerombol dengan dandanan ala selebritis
sambil menemani minum para tamu yang mampir atau berniat untuk
menggunakan jasa layanan seks yang tersedia di warung tersebut.
Gadis-gadis berharap para tamu bergabung dengan mereka dan minum bersama dan dibayar oleh tamu yang datang, baik yang soft drink maupun yang hard drink, sambil memanjakan diri mereka untuk dikencani para pelacur laki laki baik semalam suntuk (chek in) atau hanya satu jam saja (short time).
Untuk
hal kencan, tidak semua gadis yang ada di sana bisa dibawa keluar. Ada
juga dari mereka yang hanya sebagai pemikat para tamu. Jam kerja mereka
mulai dari jam 6.00 sampai dengan jam 2.00 wib. Mereka tidak diizinkan
oleh pemilik warung untuk keluar dari warung, akan tetapi harus mengajak
para tamunya untuk minum di warung dahulu. Setelah jam kerja selesai
mereka baru bisa keluar.
Di
sisi lain, berdirinya kafe di lokasi tersebut semakin melengkapi
kehidupan malam di Parung. Kafe tersebut mulai ramai setelah pukul 9
malam. Kafe yang dinamai dengan “Sahabat” tersebut terletak
tidak jauh dari deretan warung remang-remang Pondok Udik. Hal itu
semakin menambah glamornya suasana malam di lokasi tersebut. Di depan
kafe tersebut tampak halaman parkir mobil, yang memiliki ritme dan
ritualnya sendiri menyertai musik Dangdut yang terdengar melalui sela
sela tembok. Di halaman tersebut terdapat pedagang rokok yang selalu
setia menemani juru parkir yang mengawasi bermacam merk mobil dan motor,
dan tidak bosan bosannya juru parkir tersebut memperingati gelandangan
yang memimpikan ingin duduk di dalam mobil-mobil itu bila pemiliknya
keluar.
Kafe
‘sahabat’ adalah tempat yang strategis untuk bersenang-senang.
Laki-laki dan perempuan yang datang ke tempat tersebut semata-mata untuk
happy. Kafe ‘Sahabat’ tidak menyediakan apapun kecuali atraksi
keakraban pergaulan kelompok kelompok pengunjung di mana laki laki bisa
menemukan teman minum, dan para gadis parung yang duduk mengobrol
seakan mengadakan “kuis siapa berani”. Di lain tempat yang tidak jauh
dari ‘sahabat’ terdapat sebuah hotel Melati yang relatif terjangkau
harganya bagi para tamu, “Pendopo”, nama hotel tersebut, dengan bangunan
sederhana cukup untuk sebuah hotel. Pendopo juga menyediakan kafe untuk
bersantai. Di sini pula para pelacur menawarkan dirinya agar dibawa ke
hotel tersebut guna untuk menginap semalaman, chek in.
Mereka para gadis parung yang ambil bagian dalam subkultur jalanan, termasuk penyanyi dan penari setengah striptis,
pada umumnya dianggap pelacur, karena prilaku ini jauh dari standart
nilai dasar moral dan etika Islam. Dalam hal ini, standar moral tidak
hanya ditantang oleh pelacuran tetapi juga menciptakan pelacuran.
Pelacuran tersebar luas di warung remang-remang Parung dan hanya
dikontrol melalui usikan polisi dan FPI.
Pelacur yang datang dari berbagai tempat, di antaranya hasil eksodus dari Kramat tunggak yang pernah diresmikan oleh pemerintah surat
keputusan Ali sadikin tahun 1970 tentang “lokalisasi dan
rasionalisasi”, namun kemudian dibubarkan. Para ‘pemain baru’ hasil
eksodus dari Kramat Tunggak tersebut mencapai sekitar 40 % para wanita
pekerja seks yang memang telah mangkal di Parung. Ini merupakan salah
satu bukti bahwa pemerintah tidak mampu memberikan solusi praktis atas
keputusan pembubaran Kramat Tunggak, berupa penyediaan sarana pekerjaaan
alternatif bagi para pelacur tersebut.
Ironisnya,
sejumlah pernyataan resmi mengumumkan jumlah pelacur yang telah
meninggalkan kompleks pelacuran, dianggap menuju “jalan yang lurus”.
Padahal, realita mengatakan berbeda. Banyak dari mereka hanya pindah
dari satu tempat lokalisasi, ke tempat yang lain.
Sementar
standard moral tentang yang baik dan yang buruk di pergunakan untuk
mengkategorikan perempuan, bagi laki-laki, hal ini hanyalah soal
keuangan saja. Ada asumsi serta interpretasi di kalangan umat Islam
bahwa poligami adalah tatanan alam. Ditambah lagi, mereka tahu bahwa
mempunyai banyak istri atau kekasih itu biayanya mahal. Mengunakan jasa
layanan seks pelacur adalah alternatif yang relatif murah. Di samping
juga faktor ketaatan perempuan sangat diutamakan. Tetapi
seorang lelaki hanya perlu untuk agak berhati-hati melakukan permainan
ekstra perkawinan-dianggap lebih baik pergi ke pelacur dari pada punya
gundik, karena pengeluaran uang kemungkinan besar dan banyak efek
samping yang tidak positif menurut tamu yang datang yang sempat ditanyai
oleh peneliti.
Sesungguhnya
berpindahnya wanita dari satu pria ke pria yang lain dengan tetap
memperhatikan aturan-aturan syariat, bukanlah hal yang diharamkan secara
prinsip. Tetapi, ada sebagian unsur skunder yang menyebabkan
pelarangannya. Misalnya, pelecehan kehormatan wanita yang mukmin, atau
memperburuk iklim moral dan psikologis umum atau membahayakan masyarakat
melalui ancaman wabah penyakit yang ganas dan mematikan. Sesungguhnya
praktek prostitusi baik yang dilakukan oleh pria maupun wanita
bertentangan dengan cita rasa kemanusian. Islam menginginkan agar pria
dan wanita memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi mereka, terutama seks,
dengan tetap memperhatikan unsur insani, di mana keduanya akan tetap merasakan hubungan yang hakiki di antara mereka.
Masalah
prostitusi adalah masalah yang kompleks dengan intrik sosial. Hal
inilah yang menyinggung masalah prostitusi dan meletakannya didepan
masalah yang mengelinding di masyarakat. Tampak bahwa semua jerih payah
yang dilakukan baik dari sisi hukum, tatanan sosial, praktek dan pelaku,
dikarenakan kebebasan ekonomi yang dianggap sebagai jalan pokok bagi
kaum wanita untuk memperoleh kebebasannya. Selain faktor ekonomi,
masalah besar lainnya, yang muncul sebagai salah satu
pemicu mendasar tindak prostitusi adalah krisis keluarga. Di mana krisis
keluarga adalah awal dari krisis kemanusiaan. Bila kehidupan keluarga
tidak mampu lagi memuaskan seseorang, maka seseorang cenderung tidak
dapat lagi mengenali jati dirinya dan tak mampu memahami peran dan
fungsinya, baik diri pribadi maupun sebagai anggota suatu keluarga.
Ketika seseorang sudah tidak percaya lagi tentang pentingnya keluarga,
maka selanjutnya ia akan mempertanyakan urgensi suatu perkawinan. Karena
keluarga merupakan elemen terkecil dari masyarakat, maka masa depan
masyarakat akan sangat tergantung pada keluarga-keluarga yang
membentuknya. Jika tidak, maka tunggu saja tanggal kehancurannya.
B. Deskripsi Data
Dari hasil wawancara peneliti terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor
yang paling dominan terhadap adanya prostitusi adalah karena faktor
ekonomi, yaitu sebanyak 45%; sedangkan faktor lainnya adalah faktor
putus cinta sebanyak 20%, faktor lingkungan 15%, faktor hasrat seks 10%
dan dikarenakan tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang
katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak
10%.
Dengan
demikian, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap
prostitusi. Faktor ekonomi ini secara operasionalnya adalah susah
mendapatkan pekerjaan di Ibukota dengan bekal pendidikan yang minim
sedangkan kebutuhan terhadap “bertahan hidup” merupakan sesuatu yang
urgen, maka kebanyakan dari wanita yang dikarenakan desakan ekonomi yang
kuat mendorong mereka untuk menjalani hidup sebagai “wanita malam”.
Data
desa Pondok Udik ini adalah sekumpulan keterangan yang di peroleh
secara langsung dari sumbernya yang dapat memberikan gambaran tentang
potensi dan permasalahan wilayah. Dimaksud sebagai catatan data yang
menunjukan keberadaan sesuai karakter desa, yaitu: gambaran tentang
potensi dan problematika yang dihadapi, baik yang bersumber dari keadaan
menurut karakter desa maupun yang timbul sebagai akibat dari kegiatan
pembangunan itu sendiri. Bentuk dan muatan isi data ini bersifat daftar
pertanyaan yang di wujudkan dengan angka angka.
Data
profil Desa diperoleh dari sumber aslinya sebagai hasil pencatatan
(regestrasi) ditingkat Dusun, Lingkungan, RW, RT. Di samping itu, data
ini juga bersumber dari keadaan/fakta karakter desa yang diperoleh dari
hasil penghitungan dan pengukuran yang dilakukan baik dari aparat
pemerintah desa atau kelurahan sendiri maupun yang
dilakukan oleh pihak instansi tingkat atasan desa/kelurahan dan pihak
responden di wilayah desa Pondok Udik Kec kemang Jl Raya parung Bogor.
Data yang dilampirkan berguna untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dan sebagai pelengkap skripsi
Kebutuhan
untuk mengkondisikan instink dan dorongan seks merupakan kebutuhan
alami yang dipupuk dan diperhatikan. Kebutuhan kepribadian yang harmonis
mendorong interaksi yang sehat antara sesama manusia dan pribadi yang
berimbang lahir batin, adalah stabil secara emosional dan kompeten untuk
mencapai harmoni dan kedamaian sosial.
Perempuan
Parung Bogor tepatnya di desa Pondok Udik, pada umumnya yang
berpendidikan di bawah standard. Minim sekali dari mereka yang lulusan
universitas. Kecuali mereka yang cenderung memiliki hobi memasak dan
mengasuh anak, pada waktu luang, kegiatan yang mereka lakukan adalah
berdandan, arisan kecil-kecilan layaknya ibu-ibu pondok indah, bergosip,
bahkan kegemaran berhubungan seks. Karena tidak ada yang mereka kerjakan, sebagai konpensasi dari itu semua mereka mengidentifikasikan dan mencari pemuasan diri melalui apa yang mereka miliki.
Mereka tak ubahnya ibarat konsumen
bangsa ini, manajer keluarga inti yang berkonsumsi. Pola ini
menunjukkan posisi status dan kelas mereka sebagai potensi yang laku di
pasaran dan murah. Para pelacur-pelacur ini direndahkan sebagai orang
penyimpang amoral, patologis. Penilaian yang berlaku untuk sementara
mengatakan bahwa mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam
menanggapi prospek ekonomi, dan dalam menjual tubuh mereka sebagai
obyek dagangan mengeploitasi sistem kapitalis untuk tujuan mereka
sendiri.
Uang
yang diperoleh untuk pemuasan aspirasi aspirasi konsumeris yang tidak
mereka dapatkan dengan cara lain, karena pelacuran menawarkan alternatif
terhadap ideologi yang patriakal moralistik. Penindasan seksual dan
kerja pabrik yang eksploitatif tidak membenarkan kesempatan pada mereka
untuk “berhasil”. Prospek mereka jauh lebih baik dari pedagang. Mereka
menjual diri untuk ikut berkongsi dalam sistem, meskipun sifatnya temporal.
“Gadis
baik-baik” dalam kaca mata penerimaan sosial pada umumnya adalah mereka
yang bekerja di rumah atau di tempat lain dalam instansi instansi
terkait, menerima norma-norma sosial dan penindasan sosial. Mereka tidak
minum minuman keras atau merokok, tidak pergi ketempat tempat yang
dianggap cela oleh masyarakat, atau masih di luar rumah pada pukul 11
malam. Akan tetapi sebaliknya, dengan meningkatnya
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, maka sering timbulnya jalan
alternatif yang relatif singkat dengan melakukan pelacuran
kecil-kecilan, pergi ke diskotik, kumpul bareng dalam satu ruangan
mengunakan narkoba, sabu-sabu, putaw, minuman hard drink, dan berbagai
obat penenang lainnya yang dianggap sebagai solusi.
Gadis
desa yang ambil bagian dari “drama sosial” ini tidak kalah menariknya
dari gadis gadis kota. Padahal kehidupan sehari hari di kampung adalah
strategis untuk bertahan hidup, berlawanan dengan “mitos marginalitas”,
yang menganggap bahwa kampung adalah lingkungan liar, menjijikan dan
kotor bahkan tidak mempunyai pendidikan “moral”. Mereka (gadis yang
datang dari desa) tidak serta merta datang dan ikut dalam
permainan seks tersebut, melainkan ada efek sosial yang menjanjikan
impian material dan hidup layaknya gadis-gadis sinetron.
Gadis
desa salah satu sasaran empuk oleh orang orang yang menganggap dirinya
sebagai germo, dengan embel-embel pekerjaan untuk hidup di kota dan
menambah uang belanja di kampung serta membantu kesulitan keluarga.
Kisah
tentang orang miskin jadi kaya dan orang kaya jatuh miskin dan pelacur
yang selalu siap melayani tamunya di setiap matahari memejamkan sinarnya
hampir mengkarikaturkan berjalannya sistem kelas yang baru di Parung.
Gadis Parung cenderung mengepresikan tingkat alienasi yang
dikombinasikan dengan keinginan akan uang dan kepemilikan akan materi.
Gadis-gadis
Parung yang peneliti temui, khususnya di warung remang-remang, tidak
semuanya menjual jasa dari tubuh mereka. Ada juga yang cuma menemani
minum para lelaki yang datang guna menambah uang belanja keluarga dan
sebagai penarik pelanggan datang. Gadis yang berspekulasi untuk
mendapatkan pekerjaan tidak semuanya bernasib baik. Warung remang adalah
alternatif satu satunya yang dapat memberikan mereka kemudahan untuk
mendapatkan uang. Bagaimana tidak, cara transaksi yang dilakukan oleh
para gadis sangatlah tidak sesuai dengan keadaan diluar atau pasaran.
Jika para tamu meminum minuman di warung tersebut lebih mahal harganya
ketimbang minum di airport, itu wajar adanya, lantaran
yang mahal bukan minumanya melainkan tempatnya. Menurut mereka, teh
botol misalnya, harganya berkisar sampai 12 ribu rupiah. Jika seorang
yang minum bir harganya pun lebih mahal dari biasanya dan mempunyai
kebiasaan yang “curang”, yaitu ketika tamu yang sudah mabuk maka botol
minuman ditambah diatas meja sehingga hitunganpun akan bertambah.
Warung
remang milik seorang lelaki yang letaknya tidak jauh dari hotel
Pendopo, mempekerjakan 4 orang gadis yang datang dari luar daerah; 2
gadis berasal dari bubaran Kramat Tunggak asal Sukabumi, sementara yang 2
lagi berasal dari Cianjur dan Banyuwangi. Mereka semua menemani minum
dan sekaligus menemani kencan para tamu yang berniat untuk melampiaskan
nafsu birahinya.
Rika 23 tahun, salah seorang dari mereka yang
terpaksa harus menjual tubuhnya hanya karena trauma dengan keluarga dan
sang suami yang meninggalkannya setelah “menghisap madunya”. Rika
adalah seorang mahasiswi dari salah satu universitas yang ada di
Bandung. Lantaran dia harus menikah dengan laki laki yang dipilih oleh
keluarganya sampai dia harus stop out kuliah dan akhirnya harus
berhenti karena hormatnya dengan suami yang ternyata adalah benalu
dalam keluarga. Rika, gadis yang trauma ini, bercerita kepada peneliti
dengan deraian air mata penyesalan dan kebencian dengan laki laki yang
datang guna untuk menikmati dirinya. Dia satu-satunya gadis yang sempat
menginjak bangku kuliah hingga semester empat. Trauma Rika dilampiaskan
lewat celotehnya dalam keadaan mabuk yang bernuansa syair. (Saya
lampirkan ungkapan hati Rika tersebut dalam skripsi ini, dengan judul “Air Mata Rika”.)
Di
lain tempat, di sebelah kanan, yang tidak jauh dari warung remang di
mana Rika selalu duduk, terdapat sebuh warung lagi. “Nur” yang selalu
mangkal di warung tersebut berasal dari Jawa Barat, tepatnya dari Tasik,
lantaran karena ekonomi yang menuntut Nur harus bekerja demi untuk
menghidupi keluarga di kampungnya. Nur harus menjalani hidup di Parung
sebagai seorang yang menemani untuk minum para tamu dan tak jarang untuk
kencan dengan para tamu yang mampir di tempatnya. Nur menganggap
dirinya tidak seperti gadis lainnya yang menganggap diri mereka kotor.
Tapi Nur merasa dirinya harus berjuang untuk kehidupan beberapa nyawa.
Nur mempunyai dua saudara yang masih duduk di bangku sekolah. Keduanya
perempuan; satu SMP dan satunya lagi SD. Ibu Nur yang sakit-sakitan,
semenjak ditinggal oleh suaminya yang telah meninggal beberapa tahun
lalu tak lagi bisa menghidupi keluarganya. Maka dari itu, Nur merasa
bahwa kehidupanlah yang patut disalahkan. “Apakah dosa jika aku
menyelamatkan keluargaku sendiri”, jawab Nur dengan nada yang agak
tinggi.
Ada
juga Marni, asli Cipelang Bogor, dinikahkan oleh orang tuanya pada usia
13 tahun (masih di sekolah dasar) dengan seorang petani yang sudah
tua. Mereka tidak cocok, kemudian Marni minta cerai lalu pergi ke
Jakarta pada tahun 1993. Ia kemudian menikah dengan Niko (panggilan), seorang
kuli kereta di Gambir yang dikenalnya di Jakarta. Mereka kawin hanya di
KUA saja tanpa harus meramaikannya. Lalu Niko berhenti dari pekerjaanya
sebagai kuli dan pindah ke pabrik yang letaknya di Cinangka, Parung.
Bertambahnya
anak, mulai menimbulkan masalah keuangan dalam keluarga mereka. Marni
ikut dalam memperjuangkanm keutuhan keluarga. Ia bekerja di warung
remang Parung dikala malam, dan di siang hari Marni harus mengambil
cucian. Akan tetapi Marni hanya menemani minum saja dan dia selalu
menolak ketika para tamu yang datang dengan pikiran kotor untuk mengajak
Marni. Sejak itu Marni dan Niko mengumpulkan modal hingga mereka
membuka sebuah warung di Parung dan tetap mengambil cucian di siang hari
yang di bantu oleh anak perempuanya tertua mereka yang masih SMU.
Mereka tinggal di rumah sendiri, dengan dua perempuan dan satu laki
laki.
Di
lain pihak, di sebuah warung indomi dan rokok yang letaknya persis di
depan kantor kelurahan Pondok Udik, terdapat seorang anak muda yang
bernama Andi yang masih duduk di bangku sekolah menengah umum dengan
seorang adik perempuannya. Kehadiran mereka semakin meramaikan
berjalannya kehidupan malam dan siang di desa tersebut. Warung Andi buka
20 jam. Andi berserta adik perempuannya, bergantian menjaga warung
tersebut guna untuk mendapatkan nafkah lahir. Pagi hari saat Andi
sekolah, yang menjaga warung tersebut adalah adiknya, di siang hari,
mereka berganti tugas. Tapi kalau di malam hari, dua bersaudara tersebut
seringkali dibantu dan ditemani bapak dan ibunya.
C. Penanganan Prostitusi
1. Respons Masyarakat Setempat
Dari
keterangan warga setempat yang peneliti peroleh dari wawancara dengan
beberapa warga masyarakat setempat (18/05/2003), diperoleh informasi
bahwa keberadaan warung remang-remang sebagai pusat mesum yang ada di
Desa Pondok Udik, sebetulnya bukan tidak diketahui oleh warga setempat.
Semua warga Desa Pondok Udik mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh
para wanita malam tersebut. Pada akhir tahun 2000, tepatnya sebelum
pergantian Kepala Desa, warga Pondok Udik pernah melakukan protes dengan
demontsrasi untuk menentang keberadaan warung remang-remang tersebut.
Untuk sementara waktu, setelah warga melakukan protes tersebut, warung
remang-remang memang tidak terlihat lagi.
Namun,
setelah ada pergantian Kepala Desa Pondok Udik, aktivitas warung
remang-remang terlihat kembali marak, bahkan lebih ramai dari
sebelumnya. Kepala Desa Pondok Udik yang baru rupanya memberikan peluang
bagi tumbuhnya warung remang-remang di wilayah kekuasaannya.
2. Respons Agamawan
Di
wilayah Desa Pondok Udik terdapat beberapa organisasi keagamaan, di
antaranya sebuah yayasan Islam yang letaknya persis di samping kantor
kelurahan. Respons dari para agamawan yang ada di desa tersebut jelas
sangat menentang adanya praktek kemaksiatan di wilayah Desa Pondok Udik.
Ketidaksetujuan mereka inilah juga yang menjadi penggerak warga
masyarakat desa untuk melakukan penentangan pada akhir tahun 2000
seperti dikemukakan di atas (sumber: Wawancara dengan salah seorang
warga pedagang di Desa Pondok Udik).
Namun,
pada waktu sekarang respons dari para agamawan seakan surut. Hal itu
disebabkan ketidaksetujuan mereka tidak mendapat dukungan dari pihak
aparat pemerintah yang ada di desa tersebut.
3. Respons Aparat Pemerintah
Untuk
menganalisis respons aparat pemerintah desa Pondok Udik ini, peneliti
mendapat kesulitan, karena susahnya untuk mendapat informasi dari pihak
pemerintah yang berwenang. Sikap para aparat desa sangat tertutup ketika
ditanya masalah warung remang-remang yang ada di wilayahnya. Hal itu
seakan-akan memberikan indikasi bahwa pihak pemerintah desa kurang
merespons terhadap berbagai praktek kemaksiatan yang ada, atau bahkan
seakan-akan menyetujui dan melindunginya.
D. Analisa Prostitusi dari Perspektif PMI
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab II, bahwa Pengembangan Masyarakat Islam (PMI/Tathwir)
dilakukan dalam rangka peningkatan sosial masyarakat, yang dilakukan
dengan kegiatan pokok: pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai
ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat, penggalangan ukhuwah islamiyyah, dan pemeliharaan lingkungan.
Berdasarkan
perspektif tersebut, maka para pelaku prostitusi tidak mesti dipandang
sebagai sesuatu yang harus dijauhi atau “penyakit masyarakat”. Betul
bahwa perbuatan maksiat harus dijauhi, akan tetapi pelaku maksiat tidak
mesti dikucilkan, melainkan sebaliknya didekati dengan tujuan memberikan
pengertian dan bimbingan terhadap mereka. Dakwah dalam perspektif ini,
berarti melakukan pendekatan terhadap mereka, sekaligus memberikan
bimbingan baik yang berupa bimbingan ajaran agama yang mesti mereka
patuhi maupun bimbingan untuk mencari jalan yang halal dalam mencari
kehidupan di dunia.
Di
samping itu, untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang islami mesti
disertai juga dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai
kemanusiaan ditegakkan. Tanpa adanya kesadaran dari masyarakat, maka
peran da’i tidak akan banyak berarti. Kesadaran masyarakat akan
nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai agama) inilah yang menjadi tugas
utama para da’i dalam membangunnya. Setelah terbangun kesadaran
masyarakat tersebut, secara pelan namun pasti mereka akan sadar dan
tergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai mulia tersebut
di lingkungannya.
By: harja saputra & fikri habsyi (2002)
Sumber : http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/05/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-2/
Jebakan Perempuan Nakal, Sudah Bugil Masuk Preman
Bogor - Wanita penjaja cinta yang tertebaran di warung
remang-remang di kawasan Parung, Bogor, tidak ada satu pun yang bersedia
langsung dibawa menuju tempat penginapan atau yang lainnya. Tapi mereka
mengajak calon pelanggan untuk mampir ke warung atau kontrakannya.
Alasannya, untuk bersantai sembari menikmati berbagai jenis minuman
seperti bir.
Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mematok tarif layanan seks, asalkan calon konsumen bersedia mampir minum terlebih dahulu. “Untuk ‘mainnya’ terserah Abang berapa aja, yang penting minumnya,” ujar Yuni -nama samaran-, salah seorang perempuan yang biasa mejeng di pinggir jalan saat menawarkan diri ke detikcom, Selasa malam (17/12).
Wanita berkulit putih ini mengaku tidak bisa jika dibawa ke tempat lain sebab memiliki bos yang menjadi atasannya. Jika ingin membawanya ke tempat lain, calon konsumen harus terlebih dahulu menemui sang bos yang berada di warung. “Warungnya deket kok,” ujarnya seraya menunjuk arah ke belakang.

Sari, rekan Yuni, juga tidak bersedia dibawa ke tempat lain, harus di kontrakannya. “Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” tutur wanita yang mengenakan kaus ketat ini.
Ani, juga nama samaran seperti Sari dan Yuni, pun ogah diajak meninggalkan tempat tersebut. Ia berdalih karena memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, ia dan lainnya tidak dapat pergi diam-diam sebab ada orang utusan bos yang mengawasi mereka. “Gak bisa, kita di sini ada yang ngawasi,” ucap Ani berkilah.
Belakangan diketahui praktik prostitusi tersebut merupakan kedok. Transaksi yang telah disepakati berubah menjadi pemerasan saat calon pelanggan masuk ke dalam kamar kontrakan si perempuan.
Salah satu korbannya, sebut saja Fandi, mengisahkan, kejadian tersebut terjadi pada 2011 lalu. Ketika sampai di kawasan Jabon, ia melakukan transaksi seks dengan seorang perempuan yang mangkal. Setelah tawar-menawar, tarif seks akhirnya disepakati sebesar Rp 150 ribu untuk short time.
Namun, pada saat ia tengah "menikmati malam" dan sudah dalam keadaan tak berpakaian, tiba-tiba dua orang pria masuk ke dalam kamar memeras barang yang ia bawa.
"Pas masuk kosan dan udah bugil. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki. Mereka ngakunya ronda, langsung ngancem, kalau gak mau dilaporin polisi, minta uang damai. Alasan mereka mergokin, katanya karena itu kosan khusus cewek dan gak biasanya ada motor. Reaksi cewek itu kayak gak kaget sama sekali," ujar Fandi yang mengaku merasa dijebak kepada detikcom.
Fandi melanjutkan, karena dalam keadaan takut dan diancam bakal dilaporkan ke polisi, ia akhirnya menyetujui permintaan dua preman itu untuk memberi uang damai.
Namun, kedua lelaki tersebut justru memalak, dan membawa paksa seluruh barang Fandi berupa dompet berisi uang sebesar Rp 1,2 juta, ponsel Blackberry, dan ransel ukuran sedang.
Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mematok tarif layanan seks, asalkan calon konsumen bersedia mampir minum terlebih dahulu. “Untuk ‘mainnya’ terserah Abang berapa aja, yang penting minumnya,” ujar Yuni -nama samaran-, salah seorang perempuan yang biasa mejeng di pinggir jalan saat menawarkan diri ke detikcom, Selasa malam (17/12).
Wanita berkulit putih ini mengaku tidak bisa jika dibawa ke tempat lain sebab memiliki bos yang menjadi atasannya. Jika ingin membawanya ke tempat lain, calon konsumen harus terlebih dahulu menemui sang bos yang berada di warung. “Warungnya deket kok,” ujarnya seraya menunjuk arah ke belakang.
Sari, rekan Yuni, juga tidak bersedia dibawa ke tempat lain, harus di kontrakannya. “Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” tutur wanita yang mengenakan kaus ketat ini.
Ani, juga nama samaran seperti Sari dan Yuni, pun ogah diajak meninggalkan tempat tersebut. Ia berdalih karena memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, ia dan lainnya tidak dapat pergi diam-diam sebab ada orang utusan bos yang mengawasi mereka. “Gak bisa, kita di sini ada yang ngawasi,” ucap Ani berkilah.
Belakangan diketahui praktik prostitusi tersebut merupakan kedok. Transaksi yang telah disepakati berubah menjadi pemerasan saat calon pelanggan masuk ke dalam kamar kontrakan si perempuan.
Salah satu korbannya, sebut saja Fandi, mengisahkan, kejadian tersebut terjadi pada 2011 lalu. Ketika sampai di kawasan Jabon, ia melakukan transaksi seks dengan seorang perempuan yang mangkal. Setelah tawar-menawar, tarif seks akhirnya disepakati sebesar Rp 150 ribu untuk short time.
Namun, pada saat ia tengah "menikmati malam" dan sudah dalam keadaan tak berpakaian, tiba-tiba dua orang pria masuk ke dalam kamar memeras barang yang ia bawa.
"Pas masuk kosan dan udah bugil. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki. Mereka ngakunya ronda, langsung ngancem, kalau gak mau dilaporin polisi, minta uang damai. Alasan mereka mergokin, katanya karena itu kosan khusus cewek dan gak biasanya ada motor. Reaksi cewek itu kayak gak kaget sama sekali," ujar Fandi yang mengaku merasa dijebak kepada detikcom.
Fandi melanjutkan, karena dalam keadaan takut dan diancam bakal dilaporkan ke polisi, ia akhirnya menyetujui permintaan dua preman itu untuk memberi uang damai.
Namun, kedua lelaki tersebut justru memalak, dan membawa paksa seluruh barang Fandi berupa dompet berisi uang sebesar Rp 1,2 juta, ponsel Blackberry, dan ransel ukuran sedang.
Tarif PSK di Parung Tak Ditentukan, Asal Mau Minum
Bogor - Desa Jabon Mekar, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa
(17/12) pukul 19:50. Lalu lintas masih terlihat ramai dan lancar.
Kendaraan melaju di dua sisi jalan, baik yang menuju arah Bogor maupun
Jakarta.
Di pinggir sebuah jalan yang merupakan perbatasan kecamatan Kemang dengan Jampang, lima orang perempuan berdandan menor berdiri sambil melambaikan tangan ke pengendara. Tiga dari mereka berdiri di sebelah sebuah warung bubur kacang hijau, sementara dua lainnya berdiri di seberang jalan.
Menjelang tengah malam, jumlah wanita di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai dua puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan sepanjang jalur Kemang-Jampang hingga Hotel Transit Parung.
Saat jalanan sedang sepi dari pengendara, beberapa kelompok dari wanita tersebut memanfaatkan lapak pedagang yang kosong dan tanpa penerang, warung–warung kopi sebagai tempat berkumpul.
Mereka akan kembali ke pinggir jalan jika terlihat lampu kendaraan yang melaju dari kejauhan. Dandanan para wanita ini tidak terlalu mencolok untuk ukuran pekerja seks komersial (PSK).
Rias wajah atau Make up mereka tidak menor meski olesan bedak tetap terlihat. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Sebagian mengenakan celana pendek, tidak sedikit juga yang mengenakan celana jeans panjang, dengan pakaian atas hanya memakai kaos atau dibalut dengan jaket.
Pemandangan ini terasa kontras jika dibandingkan dengan PSK di pinggir Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di jalan Hayam Wuruk, para PSK merias diri dan mengenakan pakaian seksi.
Sumber : Detik.com
Di pinggir sebuah jalan yang merupakan perbatasan kecamatan Kemang dengan Jampang, lima orang perempuan berdandan menor berdiri sambil melambaikan tangan ke pengendara. Tiga dari mereka berdiri di sebelah sebuah warung bubur kacang hijau, sementara dua lainnya berdiri di seberang jalan.
Menjelang tengah malam, jumlah wanita di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai dua puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan sepanjang jalur Kemang-Jampang hingga Hotel Transit Parung.
Saat jalanan sedang sepi dari pengendara, beberapa kelompok dari wanita tersebut memanfaatkan lapak pedagang yang kosong dan tanpa penerang, warung–warung kopi sebagai tempat berkumpul.
Mereka akan kembali ke pinggir jalan jika terlihat lampu kendaraan yang melaju dari kejauhan. Dandanan para wanita ini tidak terlalu mencolok untuk ukuran pekerja seks komersial (PSK).
Rias wajah atau Make up mereka tidak menor meski olesan bedak tetap terlihat. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Sebagian mengenakan celana pendek, tidak sedikit juga yang mengenakan celana jeans panjang, dengan pakaian atas hanya memakai kaos atau dibalut dengan jaket.
Pemandangan ini terasa kontras jika dibandingkan dengan PSK di pinggir Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di jalan Hayam Wuruk, para PSK merias diri dan mengenakan pakaian seksi.
Sumber : Detik.com
Praktik Warung Remang-remang Parung Mulai Seperti Jalur Pantura
Jakarta - Keberadaan warung remang-remang di Parung,
Bogor, Jawa Barat disebut sudah ada sejak tahun 1960-an. Meski sudah
berulang kali ditertibkan toh bisnis jasa layanan seks di tempat
tersebut tetap marak hingga kini.
Adanya anggapan bahwa masyarakat diuntungkan dengan keberadaan wanita penjaja seks komersiil membuat praktik prostitusi di Parung tetap berlangsung.
Menurut Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS), Arifin Purwakananta pola pikir masyarakat yang diuntungkan dengan keberadaan wanita nakal membuat praktik prostitusi ini tetap ada.
Penyediaan akan pasokan rumah kontrakan, warung, hingga makanan dibutuhkan untuk eksistensi kegiatan warung remang-remang ini. “Kondisi ini akut ya karena sudah lama dibiarkan. Sudah seperti jalur Pantai Utara Jawa karena sering truk-truk mampir,” kata Arifin kepada detikcom Selasa (17/12) kemarin.
Hal ini diakui oleh Sari (bukan nama sebenarnya), seorang PSK di Parung. Menurut dia banyak warga yang mendapat pemasukan materi, karena mengontrakan rumahnya bagi wanita penjaja seks tersebut.
Bahkan Sari mengaku mengontrak rumah milik salah satu tokoh di tempat tersebut. Sehingga dia menjamin setiap pelanggan yang menggunakan jasa dia akan aman dari gangguan warga.
“Ya amanlah, yang punya kontrakan orang terpandang di sini. Setiap malam di sini, malam Jumat libur,” kata Sari kepada detikcom Rabu dini hari tadi.
Setiap memberikan jasa, Sari memberikan tarif tertentu. Kepada pelanggan dia menyebut ada tiga jenis biaya yang harus dibayar, yakni untuk minuman ringan sebesar Rp 20 ribu, bir Rp 40 ribu, sewa tempat Rp 50 ribu dan tarif layanan seks sebesar Rp 100 ribu.
Sumber : Detik.com
Adanya anggapan bahwa masyarakat diuntungkan dengan keberadaan wanita penjaja seks komersiil membuat praktik prostitusi di Parung tetap berlangsung.
Menurut Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS), Arifin Purwakananta pola pikir masyarakat yang diuntungkan dengan keberadaan wanita nakal membuat praktik prostitusi ini tetap ada.
Penyediaan akan pasokan rumah kontrakan, warung, hingga makanan dibutuhkan untuk eksistensi kegiatan warung remang-remang ini. “Kondisi ini akut ya karena sudah lama dibiarkan. Sudah seperti jalur Pantai Utara Jawa karena sering truk-truk mampir,” kata Arifin kepada detikcom Selasa (17/12) kemarin.
Hal ini diakui oleh Sari (bukan nama sebenarnya), seorang PSK di Parung. Menurut dia banyak warga yang mendapat pemasukan materi, karena mengontrakan rumahnya bagi wanita penjaja seks tersebut.
Bahkan Sari mengaku mengontrak rumah milik salah satu tokoh di tempat tersebut. Sehingga dia menjamin setiap pelanggan yang menggunakan jasa dia akan aman dari gangguan warga.
“Ya amanlah, yang punya kontrakan orang terpandang di sini. Setiap malam di sini, malam Jumat libur,” kata Sari kepada detikcom Rabu dini hari tadi.
Setiap memberikan jasa, Sari memberikan tarif tertentu. Kepada pelanggan dia menyebut ada tiga jenis biaya yang harus dibayar, yakni untuk minuman ringan sebesar Rp 20 ribu, bir Rp 40 ribu, sewa tempat Rp 50 ribu dan tarif layanan seks sebesar Rp 100 ribu.
Sumber : Detik.com
Godaan Cewek Warem Berkedok Bardut
Bogor - Selasa (17/12) selepas isya, arus lalu lintas
terlihat ramai dan lancar di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor.
Kendaraan melaju di dua lajur jalan, baik yang menuju arah Bogor maupun
Jakarta.
Sudah sejak lama kawasan ini tersohor dengan banyaknya warung remang-remang alias warem. Namun, warung-warung yang menjual aneka penganan dan minuman itu tidak hanya berada di pinggir jalan. Tak sedikit yang letaknya berada di dalam gang. Wanita-wanita penjaja tubuh dipajang di pinggir jalan untuk menarik pengendara agar mampir ke warung.
Menjelang tengah malam, jumlah cewek-cewek berdandan seronok yang lazim dijuluki "duren Parung" di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan, baik sendiri, berdua maupun berkelompok.
Geliat prostitusi terlihat begitu kentara di sepanjang Jalan Jampang, perbatasan Parung-Kemang, Kabupaten Bogor. Puluhan wanita mulai yang muda hingga menjelang usia paruh baya berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan dan menggoda pengendara yang melintas.
Dandanan para wanita ini beragam. Ada yang tampak mencolok memamerkan lekuk-lekuk tubuh dengan pakaian seksi hingga yang terlihat agak sopan. Tak hanya di pinggir-pinggir jalan mereka beroperasi. Dalam menjalankan aksinya mereka juga tersebar di berbagai tempat hiburan malam.
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kawasan ini ditunjang dengan berdirinya banyak diskotek, kafe, dan bar yang menyuguhkan musik dangdut. Selain maraknya bar dangdut atau yang dikenal dengan sebutan bardut, beberapa motel dan hotel transit dalam kurun 10 tahun terakhir juga berdiri di daerah ini. Para wanita penjaja cinta ini dengan mudah banyak ditemui di warem-warem yang berkedok kafe atau bardut.
Keberadaan warung remang-remang di Parung sudah eksis sejak lama. Sejumlah tokoh masyarakat menyoroti sudah lamanya fenomena warem di Parung dilihat dari jumlah wanita nakal dan kondisi waremnya serta masyarakat setempat yang seperti membiarkan terlalu lama.
Masyarakat mengungkapkan sejak ia tinggal di dekat daerah Parung pada 2001, keberadaan warem memang sudah sangat mencemaskan. Banyak wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan.
Ia menyebut perempuan-perempuan tersebut banyak berasal dari Jawa Barat seperti Indramayu dan Sukabumi. Jumlahnya sekarang diperkirakan semakin bertambah. “Saya enggak tahu pastinya. Tapi, saya duga ini sudah lama bahkan puluhan tahun lebih sebelum saya tinggal di sini pada 2001,” kata Tokoh masyarakat ini kepada detikcom, Selasa (17/12).
Sumber : Detik.com
Sudah sejak lama kawasan ini tersohor dengan banyaknya warung remang-remang alias warem. Namun, warung-warung yang menjual aneka penganan dan minuman itu tidak hanya berada di pinggir jalan. Tak sedikit yang letaknya berada di dalam gang. Wanita-wanita penjaja tubuh dipajang di pinggir jalan untuk menarik pengendara agar mampir ke warung.
Menjelang tengah malam, jumlah cewek-cewek berdandan seronok yang lazim dijuluki "duren Parung" di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan, baik sendiri, berdua maupun berkelompok.
Geliat prostitusi terlihat begitu kentara di sepanjang Jalan Jampang, perbatasan Parung-Kemang, Kabupaten Bogor. Puluhan wanita mulai yang muda hingga menjelang usia paruh baya berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan dan menggoda pengendara yang melintas.
Dandanan para wanita ini beragam. Ada yang tampak mencolok memamerkan lekuk-lekuk tubuh dengan pakaian seksi hingga yang terlihat agak sopan. Tak hanya di pinggir-pinggir jalan mereka beroperasi. Dalam menjalankan aksinya mereka juga tersebar di berbagai tempat hiburan malam.
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kawasan ini ditunjang dengan berdirinya banyak diskotek, kafe, dan bar yang menyuguhkan musik dangdut. Selain maraknya bar dangdut atau yang dikenal dengan sebutan bardut, beberapa motel dan hotel transit dalam kurun 10 tahun terakhir juga berdiri di daerah ini. Para wanita penjaja cinta ini dengan mudah banyak ditemui di warem-warem yang berkedok kafe atau bardut.
Keberadaan warung remang-remang di Parung sudah eksis sejak lama. Sejumlah tokoh masyarakat menyoroti sudah lamanya fenomena warem di Parung dilihat dari jumlah wanita nakal dan kondisi waremnya serta masyarakat setempat yang seperti membiarkan terlalu lama.
Masyarakat mengungkapkan sejak ia tinggal di dekat daerah Parung pada 2001, keberadaan warem memang sudah sangat mencemaskan. Banyak wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan.
Ia menyebut perempuan-perempuan tersebut banyak berasal dari Jawa Barat seperti Indramayu dan Sukabumi. Jumlahnya sekarang diperkirakan semakin bertambah. “Saya enggak tahu pastinya. Tapi, saya duga ini sudah lama bahkan puluhan tahun lebih sebelum saya tinggal di sini pada 2001,” kata Tokoh masyarakat ini kepada detikcom, Selasa (17/12).
Sumber : Detik.com
Dibawa Pelacur ke Kosan, Pas Pintu Dibuka Ada 3 Cowok
Bogor - Lain Fandi, lain pula Fahdi. Namun kedua
laki-laki yang namanya disamarkan ini sama-sama mempunyai pengalaman
pahit ketika "bermain" dengan perempuan yang saban malam menjajakan
tubuh di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor.
Fahdi, 25, terbilang masih beruntung ketimbang Fandi yang duit, Blackberry, dan tasnya dirampas preman yang masuk ke kamar pelacur Parung ketika sedang indehoy.
Fahdi mengaku juga hampir menjadi korban pemerasan di kawasan tersebut, namun berhasil melarikan diri. Fahdi menceritakan, pada 2011 lalu, ia baru kembali dari Bandung, dan sampai di kawasan Jampang, Parung, menjelang tengah malam.
Setelah bertransaksi dengan salah satu wanita di pinggir jalan Parung, mereka pun bergerak menuju kamar kontrakan. "Cewek itu gak mau diboncengin waktu masih di jalan. Pas sudah di gang, baru dia mau dibonceng," kata Fahdi mengungkapkan ke detikcom, Rabu (18/12).

Fahdi melanjutkan, waktu mereka berdua sampai di deretan kamar kos-kosan tampak sekitar 8 kamar kosan di tempat itu. Wanita yang diboncengnya kemudian turun. Sementara ia masih berada di atas motor. "Katanya si cewek di situ tempat mainnya."
Nah pada saat pintu terbuka, ternyata di dalam kamar berukuran kecil tersebut sudah ada tiga orang pria. "Pas dia buka pintu kosannya langsung kelihatan ada tiga cowok nunggu di situ, kamarnya kecil, langsung kelihatan kasurnya juga," katanya.
Fahdi mengaku beruntung belum turun dari motor. Melihat ada tiga cowok di dalam kamar, ia langsung menyalakan sepeda motornya dan tancap gas melarikan diri
Fahdi, 25, terbilang masih beruntung ketimbang Fandi yang duit, Blackberry, dan tasnya dirampas preman yang masuk ke kamar pelacur Parung ketika sedang indehoy.
Fahdi mengaku juga hampir menjadi korban pemerasan di kawasan tersebut, namun berhasil melarikan diri. Fahdi menceritakan, pada 2011 lalu, ia baru kembali dari Bandung, dan sampai di kawasan Jampang, Parung, menjelang tengah malam.
Setelah bertransaksi dengan salah satu wanita di pinggir jalan Parung, mereka pun bergerak menuju kamar kontrakan. "Cewek itu gak mau diboncengin waktu masih di jalan. Pas sudah di gang, baru dia mau dibonceng," kata Fahdi mengungkapkan ke detikcom, Rabu (18/12).
Fahdi melanjutkan, waktu mereka berdua sampai di deretan kamar kos-kosan tampak sekitar 8 kamar kosan di tempat itu. Wanita yang diboncengnya kemudian turun. Sementara ia masih berada di atas motor. "Katanya si cewek di situ tempat mainnya."
Nah pada saat pintu terbuka, ternyata di dalam kamar berukuran kecil tersebut sudah ada tiga orang pria. "Pas dia buka pintu kosannya langsung kelihatan ada tiga cowok nunggu di situ, kamarnya kecil, langsung kelihatan kasurnya juga," katanya.
Fahdi mengaku beruntung belum turun dari motor. Melihat ada tiga cowok di dalam kamar, ia langsung menyalakan sepeda motornya dan tancap gas melarikan diri
Ada Cabe-cabean yang Jadi Warung Remang-Remang Parung
Geliat warung remang-remang alias warem di kawasan Parung, Bogor, Jawa
Barat, tetap eksis meski sudah diperangi dan dirazia berkali-kali.
Bahkan belakangan fenomena prostitusi berkedok warem diwarnai dengan
kehadiran cewek-cewek belia yang belakangan kondang dengan sebutan
cabe-cabean.
Beberapa kelompok masayarakat yang menyoroti fenomena warem mencermati banyaknya wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan sepanjang Parung-Bogor.
Tak hanya di kalangan anak muda perkotaan, tren cabe-cabean juga muncul di kawasan pinggiran ibu kota. Tak terkecuali Parung. Remaja putri tanggung itu lazimnya keluyuran tengah malam sembari menonton trek-trekan motor.

Kehidupan mereka cenderung bebas, termasuk menyangkut seks. Dari kalangan mereka, sebagian biasanya ada yang terlihat di kelab-kelab malam mencari acara gratisan. Di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor sendiri dipenuhi tempat-tempat hiburan malam dari mulai warung remang-remang, diskotek, kafe hingga bar yang umumnya bermusik dangdut.
Salah satunya, sebut saja Sari, yang biasa nongkrong mencari "mangsa" di pinggir jalan dekat warung tenda bubur kacang hijau. Perempuan belia ini menawarkan jasa layanan seks namun si laki-laki mesti terlebih dulu membeli minuman dan membayar sewa tempat yang sudah ditentukannya.
"Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” ucap wanita yang mengenakan celana ketat ini kepada detikcom, Selasa malam (17/12)
Beberapa kelompok masayarakat yang menyoroti fenomena warem mencermati banyaknya wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan sepanjang Parung-Bogor.
Tak hanya di kalangan anak muda perkotaan, tren cabe-cabean juga muncul di kawasan pinggiran ibu kota. Tak terkecuali Parung. Remaja putri tanggung itu lazimnya keluyuran tengah malam sembari menonton trek-trekan motor.
Kehidupan mereka cenderung bebas, termasuk menyangkut seks. Dari kalangan mereka, sebagian biasanya ada yang terlihat di kelab-kelab malam mencari acara gratisan. Di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor sendiri dipenuhi tempat-tempat hiburan malam dari mulai warung remang-remang, diskotek, kafe hingga bar yang umumnya bermusik dangdut.
Salah satunya, sebut saja Sari, yang biasa nongkrong mencari "mangsa" di pinggir jalan dekat warung tenda bubur kacang hijau. Perempuan belia ini menawarkan jasa layanan seks namun si laki-laki mesti terlebih dulu membeli minuman dan membayar sewa tempat yang sudah ditentukannya.
"Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” ucap wanita yang mengenakan celana ketat ini kepada detikcom, Selasa malam (17/12)
Jebakan Perempuan Nakal, Sudah Bugil Masuk Preman
Bogor - Wanita penjaja cinta yang tertebaran di warung
remang-remang di kawasan Parung, Bogor, tidak ada satu pun yang bersedia
langsung dibawa menuju tempat penginapan atau yang lainnya. Tapi mereka
mengajak calon pelanggan untuk mampir ke warung atau kontrakannya.
Alasannya, untuk bersantai sembari menikmati berbagai jenis minuman
seperti bir.
Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mematok tarif layanan seks, asalkan calon konsumen bersedia mampir minum terlebih dahulu. “Untuk ‘mainnya’ terserah Abang berapa aja, yang penting minumnya,” ujar Yuni -nama samaran-, salah seorang perempuan yang biasa mejeng di pinggir jalan saat menawarkan diri ke detikcom, Selasa malam (17/12).
Wanita berkulit putih ini mengaku tidak bisa jika dibawa ke tempat lain sebab memiliki bos yang menjadi atasannya. Jika ingin membawanya ke tempat lain, calon konsumen harus terlebih dahulu menemui sang bos yang berada di warung. “Warungnya deket kok,” ujarnya seraya menunjuk arah ke belakang.

Sari, rekan Yuni, juga tidak bersedia dibawa ke tempat lain, harus di kontrakannya. “Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” tutur wanita yang mengenakan kaus ketat ini.
Ani, juga nama samaran seperti Sari dan Yuni, pun ogah diajak meninggalkan tempat tersebut. Ia berdalih karena memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, ia dan lainnya tidak dapat pergi diam-diam sebab ada orang utusan bos yang mengawasi mereka. “Gak bisa, kita di sini ada yang ngawasi,” ucap Ani berkilah.
Belakangan diketahui praktik prostitusi tersebut merupakan kedok. Transaksi yang telah disepakati berubah menjadi pemerasan saat calon pelanggan masuk ke dalam kamar kontrakan si perempuan.
Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mematok tarif layanan seks, asalkan calon konsumen bersedia mampir minum terlebih dahulu. “Untuk ‘mainnya’ terserah Abang berapa aja, yang penting minumnya,” ujar Yuni -nama samaran-, salah seorang perempuan yang biasa mejeng di pinggir jalan saat menawarkan diri ke detikcom, Selasa malam (17/12).
Wanita berkulit putih ini mengaku tidak bisa jika dibawa ke tempat lain sebab memiliki bos yang menjadi atasannya. Jika ingin membawanya ke tempat lain, calon konsumen harus terlebih dahulu menemui sang bos yang berada di warung. “Warungnya deket kok,” ujarnya seraya menunjuk arah ke belakang.
Sari, rekan Yuni, juga tidak bersedia dibawa ke tempat lain, harus di kontrakannya. “Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” tutur wanita yang mengenakan kaus ketat ini.
Ani, juga nama samaran seperti Sari dan Yuni, pun ogah diajak meninggalkan tempat tersebut. Ia berdalih karena memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, ia dan lainnya tidak dapat pergi diam-diam sebab ada orang utusan bos yang mengawasi mereka. “Gak bisa, kita di sini ada yang ngawasi,” ucap Ani berkilah.
Belakangan diketahui praktik prostitusi tersebut merupakan kedok. Transaksi yang telah disepakati berubah menjadi pemerasan saat calon pelanggan masuk ke dalam kamar kontrakan si perempuan.
Sumber : Detik.com
Diajak Minum 'Duren Parung', 2 Botol Bir Harganya Rp 500 Ribu
Jakarta - Praktik prostitusi dan warung remang-remang
di kawasan Jampang, Kabupaten Bogor sudah berlangsung lama. Usai
matahari terbenam para wanita penjaja diri ini berdiri di pinggir jalan
yang menghubungkan Kemang-Parung, Bogor.
Mereka melambaikan tangan ke setiap pengendara yang melintas. Kepada pengendara yang berhenti para penjaja cinta alias 'duren Parung' merayu agar mereka mau diajak ke warung-warung . Warung-warung tersebut terletak di dalam gang-gang perkampungan.
Target pelanggan para PSK ini adalah para pengendara yang melintas, baik pengguna sepeda motor maupun pengemudi truk. Dalam aksinya, para wanita ini menggaet para pria hidung belang dan membawanya ke warung remang-remang.
Di sinilah calon pelanggan diajak minum-minuman keras sampai mabuk. Saat itulah para PSK menekan pembeli untuk membayar dengan harga tinggi, meski tak sampai ke melakukan hubungan seks.
“Masih minum-minum saja, entar itu langsung ditembak harga tinggi, bisa Rp 500 ribu untuk dua botol bir. Itu belum ‘main’,” kata Aan Syahputra (bukan nama sebenarnya), seorang warga Parung kepada detikcom, Selasa (17/12) kemarin.
Menurut dia praktik prostitusi warung remang remang sudah ada sejak tahun 1990-an. Namun sejak 2003 jumlah wanita penjaja seks komersial maupun warung remang-remang mulai menurun. “Sebelum tahun 2003 PSK dan warung remang-remang lebih ramai,” kata Aan.
Meski praktik prostitusi di Parung berlangsung secara terang-terangan, sejumlah warga menyebut sangat jarang dilakukan penertiban. Para wanita yang berusia kisaran mulai usia di atas 20 hingga 40 tahun ini tetap bebas beroperasi.
Sumber : Detik.com
Mereka melambaikan tangan ke setiap pengendara yang melintas. Kepada pengendara yang berhenti para penjaja cinta alias 'duren Parung' merayu agar mereka mau diajak ke warung-warung . Warung-warung tersebut terletak di dalam gang-gang perkampungan.
Target pelanggan para PSK ini adalah para pengendara yang melintas, baik pengguna sepeda motor maupun pengemudi truk. Dalam aksinya, para wanita ini menggaet para pria hidung belang dan membawanya ke warung remang-remang.
Di sinilah calon pelanggan diajak minum-minuman keras sampai mabuk. Saat itulah para PSK menekan pembeli untuk membayar dengan harga tinggi, meski tak sampai ke melakukan hubungan seks.
“Masih minum-minum saja, entar itu langsung ditembak harga tinggi, bisa Rp 500 ribu untuk dua botol bir. Itu belum ‘main’,” kata Aan Syahputra (bukan nama sebenarnya), seorang warga Parung kepada detikcom, Selasa (17/12) kemarin.
Menurut dia praktik prostitusi warung remang remang sudah ada sejak tahun 1990-an. Namun sejak 2003 jumlah wanita penjaja seks komersial maupun warung remang-remang mulai menurun. “Sebelum tahun 2003 PSK dan warung remang-remang lebih ramai,” kata Aan.
Meski praktik prostitusi di Parung berlangsung secara terang-terangan, sejumlah warga menyebut sangat jarang dilakukan penertiban. Para wanita yang berusia kisaran mulai usia di atas 20 hingga 40 tahun ini tetap bebas beroperasi.
Sumber : Detik.com
Warung Cahaya Tandingi Praktik Warung Remang-remang
Jakarta - Keberadaan warung remang-remang dan praktik
prostitusi di Parung, Bogor Jawa Barat sudah berlangsung puluhan tahun.
Sederat razia yang dilakukan baik oleh pemerintah daerah, maupun
organisasi masyarakat tak bisa menghilangkan
praktik prostitusi di Parung. Sebagaimana dipahami banyak orang praktik prostitusi
sudah terlanjur mendapat dukungan dari oknum masyarakat Parung. Oknum masyarakat
menganggap hadirnya warung remang-remang banyak mendatangkan keuntungan.
Anggapan itu tidak salah. Karena dalam praktiknya banyak masyarakat yang menyewakan rumah, warung hingga bahan makanan untuk pekerja seks komersial di Parung. Warga pun bisa mendapatkan uang dengan cara mudah dan cepat. Tak heran jika akhirnya banyak masyarakat yang justru membantu kegiatan warung remang-remang. Kebiasaan itu pun sudah mengakar sampai sekarang.
Fakta tersebut menurut masyarakat harus disikapi bukan dengan cara kekerasan seperti razia atau merobohkan warung remang-remang. Melainkan dengan cara pendekatan personal, yakni dengan membuat program tandingan bernama warung cahaya.
Tujuan warung cahaya adalah membentengi masyarakat wilayah sekitar dengan melakukan pendekatan pendidikan, budaya, ekonomi, dan sosial agar tidak ikut terjerumus ke dunia prostitusi. Salah satunya dengan membimbing masyarakat agar punya penghasilan sendiri secara halal.
Seperti membuat usaha kerajinan anyaman keset, dan sapu. Pola pikir masyarakat yang hanya mengandalkan penghasilan dari menyewakan rumah ke penjaja seks komersial perlahan diubah. Cara pendekatan sosial dan agama seperti pengajian dan berdakwah pun mulai dilakukan sejak 2009.
Selain ustadz, beberapa tokoh masyarakat sekitar diajak ikut serta dalam pendekatan ini. “Lama kelamaan masyarakat sudah bisa melakukan. Nah, itu terus kami lakukan. Karena bagus dan masyarakat mau, ya tahun ini kami mulai namakan warung cahaya,” kata seorang tokoh masyarakat kepada detikcom, Selasa (17/12) lalu.
Sumber : Detik.com
Anggapan itu tidak salah. Karena dalam praktiknya banyak masyarakat yang menyewakan rumah, warung hingga bahan makanan untuk pekerja seks komersial di Parung. Warga pun bisa mendapatkan uang dengan cara mudah dan cepat. Tak heran jika akhirnya banyak masyarakat yang justru membantu kegiatan warung remang-remang. Kebiasaan itu pun sudah mengakar sampai sekarang.
Fakta tersebut menurut masyarakat harus disikapi bukan dengan cara kekerasan seperti razia atau merobohkan warung remang-remang. Melainkan dengan cara pendekatan personal, yakni dengan membuat program tandingan bernama warung cahaya.
Tujuan warung cahaya adalah membentengi masyarakat wilayah sekitar dengan melakukan pendekatan pendidikan, budaya, ekonomi, dan sosial agar tidak ikut terjerumus ke dunia prostitusi. Salah satunya dengan membimbing masyarakat agar punya penghasilan sendiri secara halal.
Seperti membuat usaha kerajinan anyaman keset, dan sapu. Pola pikir masyarakat yang hanya mengandalkan penghasilan dari menyewakan rumah ke penjaja seks komersial perlahan diubah. Cara pendekatan sosial dan agama seperti pengajian dan berdakwah pun mulai dilakukan sejak 2009.
Selain ustadz, beberapa tokoh masyarakat sekitar diajak ikut serta dalam pendekatan ini. “Lama kelamaan masyarakat sudah bisa melakukan. Nah, itu terus kami lakukan. Karena bagus dan masyarakat mau, ya tahun ini kami mulai namakan warung cahaya,” kata seorang tokoh masyarakat kepada detikcom, Selasa (17/12) lalu.
Sumber : Detik.com
Tanam Kayu Jabon, 1 Hektar Milliaran Rupiah dalam 5 Tahun?
Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya yang mengupas tentang masalah peluang berbisnis kayu Jabon dan sengon.
sebagai manusia, kita selalu diwajibkan untuk berusaha dan berdoa dalam
upaya mendapatkan rezeki dari Tuhan. Kedua hal tersebut harus berjalan
beriringan, guna menghindarkan manusia dari sifat serakah yang pada
nantinya akan menghilangkan akal sehat manusia dalam perhitungan meraih
rejekinya.
Seperti dalam perhitungan bisnis kayu Jabon dan sengon
ini. Ada sebagian kalangan yang memiliki ambisi demikian besar dalam
meraup keuntungan. Akibatnya mereka melakukan berbagai macam cara guna
meraih laba sebanyak mungkin. Seperti memberikan perhitungan keuntungan
di luar kewajaran kepada calon investor kayu Jabon.
Hal ini dilakukan oleh sebagian pedagang bibit kayu jabon
nakal, yang mencoba memberikan mimpi kepada pembelinya. Salah satunya
dengan menyampaikan gambaran keuntungan mencapai angka milyaran rupiah
dari bisnis kayu jabon
ini. bagi mereka yang serakah, adanya gambaran keuntungan ini tentu
akan disikapi dengan sikap irasional. Namun, bagi mereka yang melibatkan
Tuhan dalam proses pencarian rejeki, tentu akan menyikapi kondisi ini
dengan sabar dan mengedepankan rasio akal sehat.
Bagi mereka yang mengedapankan kerakusan dalam berbisnis kayu Jabon ataupunsengon,
asumsi keuntungan mencapai milyaran rupiah ini diperoleh dengan cara
yang tidak sehat. Seperti dengan menyarankan pengurangan jarak kerapatan
antar pohon hingga mencapai 1×1 m. Bahkan, ada sekelompok pihak yang
menyatakan semakin rapat jarak antar pohon, maka keuntungan yang bisa
didapatkan dari kayu Jabonper hektar mencapai angka 1 milyar rupiah.
perjalanan kayu jabon
Namun sesungguhnya, asumsi seperti ini adalah
sebuah penyesatan. Sebab, semakin rapat jarak antar pohon akan
meningkatkan resiko tanaman Jabon
terkena hama dan serangan penyakit. Selain itu, kualitas pohon pun
tidak akan sesehat jika kerapatan pohon berjarak minimal 3×2 m. Bahkan,
jika lahan yang tersedia lebih luas, kerapatan pohon akan lebih baik
jika berukuran 4 x 4 m.
Selain bisa meminimalisir serangan hama, jarak
pohon yang tidak terlalu rapat tersebut bisa menghemat biaya biaya
bibit, biaya lubang tanam, pupuk dan biaya operasional lainnya.
Di sisi lain, untuk mendapatkan keuntungan optimal dari penanaman kayu Jabonbukan
sekedar ditentukan jumlah pohon yang ditanam per hektarnya. Sebab,
dengan kerapatan yang lebih jarang, 1000 pohon bisa menghasilkan jumlah
kayu sebanyak 5000 pohon. Hal ini disebabkan, pada lahan yang ditanami
1000 pohon, kondisinya jauh lebih sehat dan berkualitas daripada lahan
yang ditanami 5000 pohon.
Dampaknya bisa dilihat pada nilai jual kayu. Pada
lahan yang ditanami 1000 pohon, bisa menghasilkan kayu berdiameter
30-50 cm yang dikategorikan sebagai super log. Nilai jual kayu berukuran
ini mencapai 1 juta per meter kubik. Sementara pada lahan yang ditanami
5000 pohon per hektar, kayu yang bisa dihasilkan maksimal hanya
berukuran maksimal 20 cm. Itu pun biasanya hanya sekitar 40 – 50 persen
dari keseluruhan pohon yang ditanam. Selebihnya, memiliki ukuran di
bawah 20 cm. Harga untuk pohon berukuran 20 cm, tidak lebih dari 400
ribu per meter kubik. Dari perhitungan ini, bisa diperkirakan berapa
nilai yang bisa didapatkan dari kedua metode penanaman tersebut mana
yang lebih menguntungkan.
Oleh karena itu, disarankan kepada para petani Jabon
untuk lebih bisa berpikir cerdas dalam proses mencari rejeki melalui
penanaman Jabon ini. keuntungan besar bukan sekedar ditentukan dari
berapa banyak bibit yang ditanam. Melainkan cara penanaman pun akan
mempengaruhi besarnya pendapatan yang bisa diperoleh pada saat panen.
Dan berdasar perhitungan secara ilmiah yang sudah dibuktikan di
lapangan, nilai keuntungan yang bisa dihasilkan dari menanam Jabon
per hektar berkisar 250-300 juta. Angka ini diasumsikan bahwa jumlah
bibit yang ditanam adalah 1000 pohon. Sehingga apabila ada pedagang
bibit Jabon yang menyarankan untuk memperpendek jarak penanaman antar
pohon guna mendapatkan keuntungan hingga 800 juta dari satu hektar
lahan, tentu hal tersebut merupakan sebuah penyesatan yang tidak perlu
dipercayai.
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/01/19/jabon-1-hektar-milliaran-rupiah-dalam-5-tahun-428619.html
Subscribe to:
Posts (Atom)
Balong Di Desa Kabon Mekar

Sumber : Google